HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN
SEJARAH AFGHANISTAN
Afghanistan merupakan tempat dari sejumlah suku. Namun karena belum adanya pencacah jiwaan yang memadai, sehingga tidak diketahui pasti kondisi sebenarnya. Dan yang tersedia sekarang hanya berdasarkan perkiraan belaka. Berdasarkan catatan dari CIA World FactBook (diperbaharui tanggal 17 Mei 2005), demografi suku di Afghanistan adalah sebagai berikut: Pashto 42%, terpusat di bagian timur, dan selatan Afghanistan; Tajik 27% berpusat di bagian utara, dan Kabul; Hazara 9% berpusat di Afghanistan tengah termasuk Bamiyan; Uzbek 9%; Aimak4%; Turkmen 3%; Baluchi 2% dan sisanya 4% yang Mencius Wakhidan Kyrgyz.
Ada dua bahasa resmi di Afghanistan yakni Persia Afgani yang sering disebut Dari (50%), dan Pashtun (35%). Beberapa bahasa lainnya yaitu bahasa-bahasa Turkik (Uzbek dan Turkmenistan yang digunakan oleh 11% rakyatnya), dan 30 bahasa-bahasa kecil, terutama Baluchi, dan Pashai (4%).
Afghanistan adalah negara yang berada di asia Tengah, namun kedekatannya dengan Plato Iran, kadang-kadang Negara ini disebut bagan dari Negara Timur Tengah. Negara Afghanistan merupakan salah satu Negara termiskin di dunia. Dari data worldfactbook pendapatan perkapita Negara ini pada tahun 2009 adalah US$ 1000.
Negara ini merdeka pada merdeka pada tanggal 19 Agustus 1919 dibawah kontrol Inggris untuk urusan luar negeri Afganistan. Penduduk Negara ini beragama mayortitas muslim dengan presentase 99 % muslim dan 1 % agama lain seperti Kristiani, Budha, dan lain-lain. Dengan melihat keadaan ini yang mayoritas Muslim tersebut, maka tidak dipungkiri bahwa Negara ini berbentuk Republik Islam, dengan nama Konvensional Islamic Republic Of Afganistan.
Secara historis, proses pembaharuan hukum keluarga muslim bisa di kelompokkan menjadi 3 9tiga fase):
Fase tahun 1915-1950.
Fase tahun 1950-1971.
Fase tahun 1971 – sekarang.
Negara ini selama ratusan tahu, menjadi salah satu wilayah di dunia yang paling strategis dan diperebutkan oleh banyak pihak. Padahal Negara ini termasuk Negara miskin, sulit berkembang, dan memiliki keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil.
Pada waktu Uni Soviet menginvasi daerah ini, pasukan Merah Rusia menanam lebih dari 12 juta ranjau di Afganistan. Ratusan orangtewas, tercabik-cabik, dan lumpuh akibat ledakan ranjau yang dipasang. Setelah Uni Soviet mendatangi Taliban, Taliban menyatakan control wanita dilarang dari pekerjaan dan Universitas.
REFORMASI HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN
Pembaruan hukum keluarga di dunia Islam ditandai tidak saja pergantian hukum keluarga Islam bercorak fiqh dengan hukum-hukum barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap hukum Islam sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya. Tujuan utama pembaruan hukum keluarga Islam adalah meningkatkan status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga. Mayoritas muslim di Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi sehingga mazhab Hanafi dominan di daerah-daerah Afghanistan. Hingga akhir perang dunia I negara ini berada di bawah sistem hukum Inggris. Selama periode ini hukum adat Inggris mempengaruhi sistem hukum Afghan, dimana sisa-sisa pengaruh Islam masih sangat besar. Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, yang sama-sama mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan negara. Selama pemerintahan Raja Amanullah sebagian besar hukum yang dikodifikasikan masih eksis. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperoum Ottoman Mesir dan Sudan. Pada tahun 1930-an sekelompok pakar hukum Afghanistan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi yang diberi nama Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan prinsip-prinsip hukum mazhab Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i ‘Alamgiri India yang dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallah) digunakan di negara ini sebagai sumber materil mereka. Selanjutnya pada tahun 1950-an beberapa undang-undang telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954 (commersial code), hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil 1958. Di bawah konstitusi 1964 Afghanistan mendeklarasikan Islam sebagai “agama suci negara Afghanistan,” dan mazhab Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja diharuskan memegang mazhab Hanafi sebagai pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam. Satu bagian dari Parlemen (Syura) di dalam Konstitusinya menyatakan, bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun “yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam,” dan bahwa “Jurisprundensi Hanafi yang merupakan bagian dari Syari’at Islam,” akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi. Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang bahwa pada tahun 1971 (1350 H) Afghanistan memberlakukan sebuah Hukum Perkawinan yang diberi nama Qanun-i Izdiwaj. Namun pada tahun 1978 setelah terjadi kudeta, Majelis Revolusi menghasilkan keputusan-keputusan legislasi awal, antara lain: (a) Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan (b) Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978. Keputusan tentang hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dan menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita muslim. Ketentuan-ketentuan ini menurut laporan diambil dari hukum-hukum yang diberlakukan di berbagai negara Arab dan Iran. Dengan demikian reformasi hukum keluarga telah terjadi di Afghanistan. Reformasi hukum keluarga tersebut dilakukan untuk merespon perubahan zaman, serta pengaruh reformasi hukum keluarga yang dilakukan negara-negara tetangganya dan pengaruh budaya barat (Inggris) yang masuk ke Afghanistan.
HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN
MAHAR
Kewajiban laki-laki (suami) memberi mahar kepada wanita (isteri) merupakan perintah Allah dalam QS al-Nisa/4: 4 وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِھِنَّ نِحْ لَة... ‘Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…’ Menurut Wahbah al-Zuhaili (l. 1932 M), istri berhak berupa material dari suaminya: mahar dan nafkah. Dalam kaitan ini menurut Ibn Rusyd, fukaha sepakat, bahwa mahar itu termasuk syarat sahnya nikah sehingga tidak boleh diadakan persetujuan untuk ditiadakan.
Dalam kaitan itu menurut hukum keluarga Afghanistan, bahwa perjanjian perkawinan, di bawah hukum syariah tetap sah baik dengan mahar maupun tidak. Jika pemberian mahar tidak ditentukan atau dalam beberapa kasus dimana sebuah perjanjian perkawinan secara terangterangan meniadakan mahar, maka sesuai hukum Hanafi isteri tetap mendapatkan mahar yang dinamakan mahar misil atau mahar yang sesuai dengan kepantasan sesuai dengan status sosialnya. Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum ditetapkan sekitar satu dinar (10 dirham). Jumlah ini diberikan karena sesuai dengan sunnah Nabi saw yang memberikan kepada beberapa isterinya mahar sebanyak 10 dirham dan benda-benda perlengkapan rumah tangga sperti penggilingan tangan, kendi air dan perabotan. Tidak ada ketentuan tentang jumlah maksimum mahar dalam syariah. Tentang kapan mahar akan diberikan, syariah membolehkan pasangan suami isteri menetapkan dalam perjanjian perkawinan. Jika kedua pasangan suami isteri tidak secara spesifik menyatakan kapan mahar akan diberikan, pakar hukum Hanafi berpendapat bahwa jika dengan adat lokal tidak bertentangan, setengah mahar merupakan hak yang harus dibayarkan ketika perjanjian sudah ditandatangani dan pembayaran setengah sisanya dapat ditunda sampai perkawinan berakhir.
Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk masalah mahar yang berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Dalam pasal 99 menentukan bagi isteri untuk menerima mahar tertentu (mahr al-muśamma) dan jika tidak ada mahar yang ditentukan dalam perjanjian perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka isteri berhak mendapatkan mahar miśil. Sedangkan dalam pasal 101 dijelaskan, bahwa mahar terkadang dibayarkan segera dan adakalanya ditunda, yang dibayar kemudian. Jika perjanjian perkawinan bersifat diam-diam tentang jumlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.
Hal ini sangat tepat karena dengan cara menegakkan adat kebiasaan yang populer, hukum ini secara menyeluruh menghindari akibat buruk yang mungkin menimpa pasangan suami isteri. Sebagai usaha untuk menentukan jumlah mahar, Hukum Sipil pasal 102 membolehkan jumlah mahar yang bertambah setelah penyelesaian perjanjian menetapkan ketentuan jumlah yang bertambah; sang isteri atau wali yang menerima mahar itu, dan nafkah perkawinan. Dalam hukum ini tidak ada ketentuan yang menyatakan apakah mahar dapat dikurangi jika perjanjian perkawinan sudah selesai. Ketentuan lain yang relevan dengan mahar adalah pasal 103 dan 113 tentang kepemilikan mahar, bahwa mahar adalah hak isteri, dan ayah tidak boleh ikut campur terhadap mahar, baik untuk diambil manfaat bagi dirinya maupun untuk diberikan kepada pihak ketiga. Sama dengan hal ini, dalam pasal 114 disebutkan, bahwa tidak seorang pun dapat memaksa isteri untuk memberikan maharnya kepada suaminya atau orang lain. Seandainya isteri meninggal sebelum menerima hak maharnya, ahli waris menuntutnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan pertunangan, Undang-undang Hukum Sipil pasal 64 dan 65 menyatakan, bahwa pertunangan adalah semata-mata janji untuk menikah. Jika ada pemberian yang sudah diberikan selama pertunangan, sang pemberi (suami) mungkin saja, sekiranya pencabutan ada di pihak isteri, boleh menuntut kembali pemberian atau uang yang seharga dengan pemberiannya. Jika pertunangan dibatalkan pemberi/suami, dia tidak bisa menuntut kembali pemberiannya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa hukum keluarga di Afghanistan yang diatur dalam Hukum Sipil 1977 pada satu sisi meng-akomodir aturan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang sangat menghargai hak asasi perempuan terhadap mahar. Walaupun di sisi lain tetap mengakomodir pula tradisi atau budaya yang menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat negara itu. Di samping itu hukum Sipil menemukan masalah dengan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang Afghanistan ketika berusaha menerjemahkan syariah ke dalam bentuk undang-undang tanpa memperhatikan isu-isu spesifik yang berkembang dalam masyarakat Afghanistan. Bagian dari hukum ini yang berkaitan dengan mahar, mereproduksi kembali ketentuan-ketentuan syariah, akan tetapi tidak berhasil menawarkan pemecahan masalah yang ditemukan di Afghanistan. Kelemahan ini menjadi satu bagian dari pertanyaan panjang apakah melanjutkan atau tidak tradisi hukum taqlid, yang tampak secara jelas dalam format Hukum Sipil di Afghanistan. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa materi hukum keluarga yang berkaitan dengan mahar di Afghanistan telah mengalami reformasi yang sejalan dengan budaya atau adat istiadat masyarakatnya. Sehingga hukum keluarga tersebut mampu eksis dalam menghadapi perubahan zaman yang sedemikian cepat, dan tetap eksis salihun likulli zaman wa makan (up to date).
PERKAWINAN ANAK
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampaknya para pakar hukum Afghanistan mengikuti dua tujuan utama dalam masalah ini, yakni pembatasan dan pelarangan secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik perkawinan anak saat menguatnya legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktik perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk membatasi praktik perkawinan anak. Pada halaman-halaman selanjutnya, poin-poin yang menonjol dari hukum syariah menjadi kerangka dasar (out line) dan hal ini diikuti oleh pandangan yang lebih tertutup terhadap undang-undang.
Jelasnya, bahwa tidak ada ketentuan batas minimal umur untuk layak nikah dalam syariah. Prinsip umum kedewasaan untuk menikah didasarkan pada adanya pubertas secara fisik. Khiyar albulug dalam mazhab Hanafi tersedia bagi laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 70 Hukum Sipil diatur bahwa khiyar al-bulug hanya dapat dilakukan lewat pengadilan. Bahkan sampai pengadilan menerbitkan sebuah keputusan mengenai nafkah perkawinan. Terbukti bahwa jika salah satu pasangan meninggal setelah menentukan pilihan sedangkan masih belum ada keputusan pengadilan, pasangan yang hidup akan mewarisinya. Seorang gadis diikat dalam sebuah perkawinan ketika masih di bawah umur dan diharuskan melakukan khiyar al-bulug ketika dia mencapai kedewasaan. Jika masih perawan, sebagaimana dalam banyak kasus, wanita tersebut akan kehilangan haknya jika tetap diam sedangkan dia sudah banyak mengetahui mengenai perkawinan yang dialaminya. Jika dia sudah tidak perawan lagi, atau jika suaminya sudah berhubungan seksual dengannya ketika masih dalam perkawinan anak, maka si wanita kehilangan hak setelah dengan sengaja mengizinkan perkawinan tersebut atau dengan cara melakukan sesuatu yang mengindikasikan kerelaannya; seperti menuntut mahar atau nafkah kepada suaminya atau mengizinkan suaminya melanjutkan hubungan seksual dengannya setelah mencapai umur dewasa.
Dalam pasal 71dan 80 Hukum Sipil 1977 menetapkan, bahwa kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita (pasal 71). Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun bagaimanapun keadaannya (pasal 80). Selanjutnya dalam pasal 5 dan 6 Hukum Sipil diatur bahwa wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus, dan kekuasaan wali memaksa wanita (ijbar) hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadis-gadis antara umur 15 dan 16 tahun, walaupun demikian hal inipun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusioner menerbitkan sebuah keputusan (nomor 7) mengenai perkawinan anak yang menyatakan, bahwa perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggar dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Dengan demikian walaupun oleh syariah tidak memberikan batas usia dewasa untuk layak melangsungkan perkawinan namun dalam hukum keluarga di Afghanistan telah dilakukan reformasi sejalan dengan perkembangan zaman dan kondisi sosiologis masyarakat setempat. Tegasnya, bahwa ukuran kedewasaan secara fisik sangatlah relatif dan berbeda antara suatu negara dengan negara lainnya, bahkan berdasarkan perbedaan zaman. Batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 16 atau 17 tahun bagi wanita Afghanistan memang sesuai realitas masyarakat di sana yang umumnya sudah layak menikah. Dalam hal ini batas umur dewasa untuk menikah bagi wanita mengalami reformasi yang semula minimal 17 tahun berubah menjadi 16 tahun. Untuk memberikan daya paksa terhadap aturan batas usia menikah bagi warga negaranya, maka aturan hukum keluarganya disertai dengan hukuman fisik. Sebab aturan hukum akan lebih efektif ditaati masyarakat jika disertai sanksi yang memaksa dibandingkan dengan aturan hukum yang tidak mempunyai daya paksa. Izin melangsungkan perkawinan bagi gadis atau pemuda yang belum mencapai usia dewasa untuk menikah melalui pengadilan hampir sama dengan hukum keluarga di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Hanya bedanya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengenal khiyar al-bulug bagi orang yang menikah di bawah umur.
POLIGAMI
Ada dua contoh reformasi mengenai poligami di Afghanistan. Pertama, terjadi di bawah Nizamnama dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan tahun 1921. Kedua, Hukum Sipil 1977. Namun Undang-undang Perkawinan 1921 berumur pendek dan segera ditinggalkan bersamaan dengan jatuhnya Raja Amanullah, dan penyebaran Konstitusi 1931, yang menyatakan bahwa hukum Hanafi akan diberlakukan di pengadilan. Karena itu pedoman hukum Hanafi dipraktekkan sampai Hukum Sipil datang dengan membawa pengaruhnya. Selama periode ini beberapa undang- undang parlemen diberlakukan mengenai perkawinan, akan tetapi tidak ada ketentuan dan hal-hal yang berkaitan dengan poligami.
Menurut Undang-undang Tahun 1971 dan Hukum Sipil 1977, poligami hanya diizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar. Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi syarat minimal bagi izin pengadilan. Di samping itu, ada alasan hukum untuk poligami. Tidak mempunyai anak menjadi salah satu alasan poligami. Untuk memastikan kebenaran alasan ini, pasangan suami isteri menunggu minimal enam sampai delapan tahun berumah tangga. Suami disyaratkan harus menunjukkan bukti kesuburannya untuk meyakinkan pengadilan. Berkenaan dengan hal itu, pengadilan mengadakan pemeriksaan secara medis terhadap kedua pasangan itu. Jika isteri ternyata mandul, dan suami subur, maka pengadilan memberikan izin bagi suami untuk berpoligami. Izin isteri yang masih hidup juga bisa menjadi pertimbangan mendapatkan izin poligami. Sebaliknya, jika ketidaksuburan ternyata ada pada suami, isteri berhak mengajukan gugatan cerai di pengadilan.
Izin poligami dengan alasan tidak mempunyai anak bertujuan untuk mencegah bubarnya keluarga (putusnya perkawinan). Karena keberadaan anak akan dapat membantu memenuhi nafkah sehari-hari di saat orang tuanya sudah uzur serta dapat menjadi pendorong semangat hidup mereka. Jelasnya, bahwa anak merupakan dambaan setiap pasangan suami isteri. Bahkan anak saleh akan menjadi investasi akherat yang dapat memberikan pahala kepada kedua orang tua walaupun keduanya telah meninggal dunia. Karena itu kegagalan mendapatkan keturunan dijadikan sebagai alasan poligami dalam hukum keluarga di Afghanistan, adalah merupakan respon positif terhadap fenomena kegagalan memperoleh anak bagi pasangan suami isteri yang terjadi di sana. Perlunya izin pengadilan, pada hakekatnya bertujuan agar poligami tidak menjadi liar yang bisa menimbulkan kezaliman terhadap isteri terutama isteri tua. Sehingga hukum keluarga tersebut dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bukan sebaliknya justru membawa kesusahan dalam kehidupan masyarakat.
PERCERAIAN
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh Hukum Hanafi. Bagian Hukum Sipil mengenai perceraian, menggambarkan pengecualian, karena lebih didasarkan pada fiqh Maliki daripada fiqh Hanafi. Akan tetapi fenomena ini bukan hal aneh di Afghanistan, sebab pada umumnya negara-negara penganut fiqh Hanafi memang terkadang mengadopsi hukum Maliki dalam legislasi modern mengenai perceraian. Hal ini dikarenakan kelebihan pada hukum Maliki mengenai perceraian, dan secara faktual memang hukum ini mengakui eksistensi perceraian di pengadilan seluas-luasnya dibandingkan dengan mazhab hukum Islam lainnya.
Hukum Sipil tidak berusaha menjaga keadilan antara kedua pasangan. Sebaliknya, hukum ini membiarkan hak laki-laki untuk menceraikan isteri secara sepihak. Posisi isteri hanya dapat lebih baik dalam segi-segi tertentu: dia diberi kekuasaan untuk melawan penyalahgunaan wewenang suaminya dengan mencari keringanan dari pengadilan. Hal ini bagaimana pun juga merupakan bentuk cakupan dari pendekatan reformasi. Ini berarti, reformasi hukum keluarga di Afghanistan, bersifat fleksibel, tidak kaku hanya mengacu kepada mazhab Hanafi yang dominan dalam masyarakat setempat.
Walaupun begitu tidak ada langkah-langkah yang diambil dalam hukum ini untuk memberi kompensasi kepada isteri dalam kasus penyalahgunaan wewenang oleh suami dalam masalah talak. Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di samping meningkatkan hak-hak wanita dalam mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penyalahgunaan yang tepat dari hak-hak talak suami. Namun Hukum Sipil Afghanistan tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan tersebut. Partisipasi orang tua juga dianjurkan dalam proses penyelesaian perselisihan keluarga.
Untuk memfasilitasi hal ini, diusulkan bahwa semua otoritas yang berkaitan dengan perceraian diserahkan kepada pengadilan, atau majelis daerah, dimana yang bertindak sebagai hakim dalam perkara perselisihan keluarga adalah wanita di antara anggotanya. Para hakim wanita diangkat di Kabul dan di beberapa daerah pusat urban lainnya. Pengangkatan hakim wanita itu bisa diterima masyarakat setelah diberi penjelasan tentang pentingnya hakim wanita dalam penyelesaian perselisihan keluarga.
Adapun dasar pemilihan hakim wanita dalam perkara perselisihan keluarga karena biasanya wanita lebih dapat menerima sesama wanita dalam memecahkan masalahnya. Wanita yang biasanya tidak diberi kesempatan beraktivitas di kantor-kantor publik, secara perlahan dan hati-hati dikikis. Tujuannya adalah untuk memperbaiki keadaan dan menjamin hak wanita.
Hak ini sering diabaikan oleh penuntut karena adanya keinginan wali atau kerabat menguasai hak itu. Akibatnya, wanita sering gagal mendapatkan haknya secara efektif di pengadilan. Pengaturan pengadilan yang memperhatikan nasib dan berusaha menjamin hak-hak wanita menekankan kehadiran wanita di pengadilan, dan menghindari sedapat mungkin penjelasan tentang persoalan wanita oleh wali atau wakil-wakilnya. Ketentuan-ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan berkisar pada hal-hal berikut:
(a) kewajiban pencatatan perkawinan;
(b) izin pengadilan untuk melakukan bigami;
(c) intervensi pengadilan dalam masalah talak atau khulu’
(d) adanya keputusan pengadilan terhadap hak cerai isteri dalam sejumlah alasan-alasan khusus
(e) adanya hak ibu yang telah diceraikan untuk mengasuh anak, dan
(f) pengakuan status wanita yang sama dengan pria.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalam beberapa hal Afghanistan berpegang pada mazhab Hanafi, terutama perlunya intervensi pengadilan dalam perkara talak, atau khulu’ yang menurut mazhab Hanafi membolehkan intervensi pihak lain. Juga pengakuan adanya hak cerai bagi isteri dengan alasan-alasan khusus, dan hak ibu untuk mengasuh anaknya. Di samping itu Afghanistan juga memasukkan reformasi di bidang hukum di luar mazhab-mazhab yang ada, seperti keharusan pencatatan perkawinan, izin pengadilan untuk melakukan poligami, dan disyaratkan persetujuan terlebih dahulu dari isteri atau para isteri yang ada. Bersamaan dengan itu itu juga ada pengakuan kesetaraan antara wanita dan pria dalam hukum keluarga.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa materi reformasi hukum keluarga di Afghanistan memiliki persamaan dengan materi reformasi hukum keluarga di negara Islam lain di dunia seperti Indonesia seperti mahar, adanya izin pengadilan dan isteri atau para isteri yang ada dalam poligami, khulu’yang diajukan isteri jika rumah tangganya tak dapat dipertahankan lagi. Di samping itu perlu dikemukakan, bahwa reformasi hukum keluarga di Afghanistan, baru berkisar di bidang perkawinan (munakahat), khususnya mahar, perkawinan anak, poligami dan perceraian belum menyentuh bidang hukum keluarga lainnya, seperti waris, dan wasiat, lebih disebabkan oleh kondisi negaranya yang senantiasa mengalami konflik peperangan yang berkepanjangan. Sehingga perhatian pemerintah lebih terarah kepada pemeliharaan keamanan dalam negeri. Dengan demikian jika kondisi keamanan negara Afghanistan kembali kondusif, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya reformasi hukum keluarga secara lebih luas di bidang hukum keluarga selain perkawinan.
Afghanistan merupakan tempat dari sejumlah suku. Namun karena belum adanya pencacah jiwaan yang memadai, sehingga tidak diketahui pasti kondisi sebenarnya. Dan yang tersedia sekarang hanya berdasarkan perkiraan belaka. Berdasarkan catatan dari CIA World FactBook (diperbaharui tanggal 17 Mei 2005), demografi suku di Afghanistan adalah sebagai berikut: Pashto 42%, terpusat di bagian timur, dan selatan Afghanistan; Tajik 27% berpusat di bagian utara, dan Kabul; Hazara 9% berpusat di Afghanistan tengah termasuk Bamiyan; Uzbek 9%; Aimak4%; Turkmen 3%; Baluchi 2% dan sisanya 4% yang Mencius Wakhidan Kyrgyz.
Ada dua bahasa resmi di Afghanistan yakni Persia Afgani yang sering disebut Dari (50%), dan Pashtun (35%). Beberapa bahasa lainnya yaitu bahasa-bahasa Turkik (Uzbek dan Turkmenistan yang digunakan oleh 11% rakyatnya), dan 30 bahasa-bahasa kecil, terutama Baluchi, dan Pashai (4%).
Afghanistan adalah negara yang berada di asia Tengah, namun kedekatannya dengan Plato Iran, kadang-kadang Negara ini disebut bagan dari Negara Timur Tengah. Negara Afghanistan merupakan salah satu Negara termiskin di dunia. Dari data worldfactbook pendapatan perkapita Negara ini pada tahun 2009 adalah US$ 1000.
Negara ini merdeka pada merdeka pada tanggal 19 Agustus 1919 dibawah kontrol Inggris untuk urusan luar negeri Afganistan. Penduduk Negara ini beragama mayortitas muslim dengan presentase 99 % muslim dan 1 % agama lain seperti Kristiani, Budha, dan lain-lain. Dengan melihat keadaan ini yang mayoritas Muslim tersebut, maka tidak dipungkiri bahwa Negara ini berbentuk Republik Islam, dengan nama Konvensional Islamic Republic Of Afganistan.
Secara historis, proses pembaharuan hukum keluarga muslim bisa di kelompokkan menjadi 3 9tiga fase):
Fase tahun 1915-1950.
Fase tahun 1950-1971.
Fase tahun 1971 – sekarang.
Negara ini selama ratusan tahu, menjadi salah satu wilayah di dunia yang paling strategis dan diperebutkan oleh banyak pihak. Padahal Negara ini termasuk Negara miskin, sulit berkembang, dan memiliki keadaan ekonomi dan politik yang tidak stabil.
Pada waktu Uni Soviet menginvasi daerah ini, pasukan Merah Rusia menanam lebih dari 12 juta ranjau di Afganistan. Ratusan orangtewas, tercabik-cabik, dan lumpuh akibat ledakan ranjau yang dipasang. Setelah Uni Soviet mendatangi Taliban, Taliban menyatakan control wanita dilarang dari pekerjaan dan Universitas.
REFORMASI HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN
Pembaruan hukum keluarga di dunia Islam ditandai tidak saja pergantian hukum keluarga Islam bercorak fiqh dengan hukum-hukum barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam hukum Islam itu sendiri yang didasarkan atas reinterpretasi (penafsiran kembali) terhadap hukum Islam sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya. Tujuan utama pembaruan hukum keluarga Islam adalah meningkatkan status atau kedudukan kaum wanita dan memperkuat hak-hak anggota keluarga. Mayoritas muslim di Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi sehingga mazhab Hanafi dominan di daerah-daerah Afghanistan. Hingga akhir perang dunia I negara ini berada di bawah sistem hukum Inggris. Selama periode ini hukum adat Inggris mempengaruhi sistem hukum Afghan, dimana sisa-sisa pengaruh Islam masih sangat besar. Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, yang sama-sama mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan negara. Selama pemerintahan Raja Amanullah sebagian besar hukum yang dikodifikasikan masih eksis. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperoum Ottoman Mesir dan Sudan. Pada tahun 1930-an sekelompok pakar hukum Afghanistan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi yang diberi nama Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan prinsip-prinsip hukum mazhab Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i ‘Alamgiri India yang dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallah) digunakan di negara ini sebagai sumber materil mereka. Selanjutnya pada tahun 1950-an beberapa undang-undang telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954 (commersial code), hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil 1958. Di bawah konstitusi 1964 Afghanistan mendeklarasikan Islam sebagai “agama suci negara Afghanistan,” dan mazhab Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja diharuskan memegang mazhab Hanafi sebagai pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam. Satu bagian dari Parlemen (Syura) di dalam Konstitusinya menyatakan, bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun “yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam,” dan bahwa “Jurisprundensi Hanafi yang merupakan bagian dari Syari’at Islam,” akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi. Sebagaimana telah dikemukakan dalam latar belakang bahwa pada tahun 1971 (1350 H) Afghanistan memberlakukan sebuah Hukum Perkawinan yang diberi nama Qanun-i Izdiwaj. Namun pada tahun 1978 setelah terjadi kudeta, Majelis Revolusi menghasilkan keputusan-keputusan legislasi awal, antara lain: (a) Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan (b) Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978. Keputusan tentang hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dan menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita muslim. Ketentuan-ketentuan ini menurut laporan diambil dari hukum-hukum yang diberlakukan di berbagai negara Arab dan Iran. Dengan demikian reformasi hukum keluarga telah terjadi di Afghanistan. Reformasi hukum keluarga tersebut dilakukan untuk merespon perubahan zaman, serta pengaruh reformasi hukum keluarga yang dilakukan negara-negara tetangganya dan pengaruh budaya barat (Inggris) yang masuk ke Afghanistan.
HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN
MAHAR
Kewajiban laki-laki (suami) memberi mahar kepada wanita (isteri) merupakan perintah Allah dalam QS al-Nisa/4: 4 وَءَاتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِھِنَّ نِحْ لَة... ‘Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…’ Menurut Wahbah al-Zuhaili (l. 1932 M), istri berhak berupa material dari suaminya: mahar dan nafkah. Dalam kaitan ini menurut Ibn Rusyd, fukaha sepakat, bahwa mahar itu termasuk syarat sahnya nikah sehingga tidak boleh diadakan persetujuan untuk ditiadakan.
Dalam kaitan itu menurut hukum keluarga Afghanistan, bahwa perjanjian perkawinan, di bawah hukum syariah tetap sah baik dengan mahar maupun tidak. Jika pemberian mahar tidak ditentukan atau dalam beberapa kasus dimana sebuah perjanjian perkawinan secara terangterangan meniadakan mahar, maka sesuai hukum Hanafi isteri tetap mendapatkan mahar yang dinamakan mahar misil atau mahar yang sesuai dengan kepantasan sesuai dengan status sosialnya. Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum ditetapkan sekitar satu dinar (10 dirham). Jumlah ini diberikan karena sesuai dengan sunnah Nabi saw yang memberikan kepada beberapa isterinya mahar sebanyak 10 dirham dan benda-benda perlengkapan rumah tangga sperti penggilingan tangan, kendi air dan perabotan. Tidak ada ketentuan tentang jumlah maksimum mahar dalam syariah. Tentang kapan mahar akan diberikan, syariah membolehkan pasangan suami isteri menetapkan dalam perjanjian perkawinan. Jika kedua pasangan suami isteri tidak secara spesifik menyatakan kapan mahar akan diberikan, pakar hukum Hanafi berpendapat bahwa jika dengan adat lokal tidak bertentangan, setengah mahar merupakan hak yang harus dibayarkan ketika perjanjian sudah ditandatangani dan pembayaran setengah sisanya dapat ditunda sampai perkawinan berakhir.
Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk masalah mahar yang berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Dalam pasal 99 menentukan bagi isteri untuk menerima mahar tertentu (mahr al-muśamma) dan jika tidak ada mahar yang ditentukan dalam perjanjian perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka isteri berhak mendapatkan mahar miśil. Sedangkan dalam pasal 101 dijelaskan, bahwa mahar terkadang dibayarkan segera dan adakalanya ditunda, yang dibayar kemudian. Jika perjanjian perkawinan bersifat diam-diam tentang jumlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.
Hal ini sangat tepat karena dengan cara menegakkan adat kebiasaan yang populer, hukum ini secara menyeluruh menghindari akibat buruk yang mungkin menimpa pasangan suami isteri. Sebagai usaha untuk menentukan jumlah mahar, Hukum Sipil pasal 102 membolehkan jumlah mahar yang bertambah setelah penyelesaian perjanjian menetapkan ketentuan jumlah yang bertambah; sang isteri atau wali yang menerima mahar itu, dan nafkah perkawinan. Dalam hukum ini tidak ada ketentuan yang menyatakan apakah mahar dapat dikurangi jika perjanjian perkawinan sudah selesai. Ketentuan lain yang relevan dengan mahar adalah pasal 103 dan 113 tentang kepemilikan mahar, bahwa mahar adalah hak isteri, dan ayah tidak boleh ikut campur terhadap mahar, baik untuk diambil manfaat bagi dirinya maupun untuk diberikan kepada pihak ketiga. Sama dengan hal ini, dalam pasal 114 disebutkan, bahwa tidak seorang pun dapat memaksa isteri untuk memberikan maharnya kepada suaminya atau orang lain. Seandainya isteri meninggal sebelum menerima hak maharnya, ahli waris menuntutnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan pertunangan, Undang-undang Hukum Sipil pasal 64 dan 65 menyatakan, bahwa pertunangan adalah semata-mata janji untuk menikah. Jika ada pemberian yang sudah diberikan selama pertunangan, sang pemberi (suami) mungkin saja, sekiranya pencabutan ada di pihak isteri, boleh menuntut kembali pemberian atau uang yang seharga dengan pemberiannya. Jika pertunangan dibatalkan pemberi/suami, dia tidak bisa menuntut kembali pemberiannya. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa hukum keluarga di Afghanistan yang diatur dalam Hukum Sipil 1977 pada satu sisi meng-akomodir aturan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang sangat menghargai hak asasi perempuan terhadap mahar. Walaupun di sisi lain tetap mengakomodir pula tradisi atau budaya yang menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat negara itu. Di samping itu hukum Sipil menemukan masalah dengan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang Afghanistan ketika berusaha menerjemahkan syariah ke dalam bentuk undang-undang tanpa memperhatikan isu-isu spesifik yang berkembang dalam masyarakat Afghanistan. Bagian dari hukum ini yang berkaitan dengan mahar, mereproduksi kembali ketentuan-ketentuan syariah, akan tetapi tidak berhasil menawarkan pemecahan masalah yang ditemukan di Afghanistan. Kelemahan ini menjadi satu bagian dari pertanyaan panjang apakah melanjutkan atau tidak tradisi hukum taqlid, yang tampak secara jelas dalam format Hukum Sipil di Afghanistan. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa materi hukum keluarga yang berkaitan dengan mahar di Afghanistan telah mengalami reformasi yang sejalan dengan budaya atau adat istiadat masyarakatnya. Sehingga hukum keluarga tersebut mampu eksis dalam menghadapi perubahan zaman yang sedemikian cepat, dan tetap eksis salihun likulli zaman wa makan (up to date).
PERKAWINAN ANAK
Perlakuan Undang-undang mengenai perkawinan anak tampaknya para pakar hukum Afghanistan mengikuti dua tujuan utama dalam masalah ini, yakni pembatasan dan pelarangan secara tidak langsung. Undang-undang juga menentukan pembatasan-pembatasan terhadap praktik perkawinan anak saat menguatnya legalitas perkawinan anak, atau mencoba menghapus praktik perkawinan anak dengan mengundangkan hukum mengenai ketentuan usia perkawinan. Ketika Nizamnama 1921 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk membatasi praktik perkawinan anak. Pada halaman-halaman selanjutnya, poin-poin yang menonjol dari hukum syariah menjadi kerangka dasar (out line) dan hal ini diikuti oleh pandangan yang lebih tertutup terhadap undang-undang.
Jelasnya, bahwa tidak ada ketentuan batas minimal umur untuk layak nikah dalam syariah. Prinsip umum kedewasaan untuk menikah didasarkan pada adanya pubertas secara fisik. Khiyar albulug dalam mazhab Hanafi tersedia bagi laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 70 Hukum Sipil diatur bahwa khiyar al-bulug hanya dapat dilakukan lewat pengadilan. Bahkan sampai pengadilan menerbitkan sebuah keputusan mengenai nafkah perkawinan. Terbukti bahwa jika salah satu pasangan meninggal setelah menentukan pilihan sedangkan masih belum ada keputusan pengadilan, pasangan yang hidup akan mewarisinya. Seorang gadis diikat dalam sebuah perkawinan ketika masih di bawah umur dan diharuskan melakukan khiyar al-bulug ketika dia mencapai kedewasaan. Jika masih perawan, sebagaimana dalam banyak kasus, wanita tersebut akan kehilangan haknya jika tetap diam sedangkan dia sudah banyak mengetahui mengenai perkawinan yang dialaminya. Jika dia sudah tidak perawan lagi, atau jika suaminya sudah berhubungan seksual dengannya ketika masih dalam perkawinan anak, maka si wanita kehilangan hak setelah dengan sengaja mengizinkan perkawinan tersebut atau dengan cara melakukan sesuatu yang mengindikasikan kerelaannya; seperti menuntut mahar atau nafkah kepada suaminya atau mengizinkan suaminya melanjutkan hubungan seksual dengannya setelah mencapai umur dewasa.
Dalam pasal 71dan 80 Hukum Sipil 1977 menetapkan, bahwa kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai umur 18 tahun untuk laki-laki dan 17 tahun untuk wanita (pasal 71). Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun bagaimanapun keadaannya (pasal 80). Selanjutnya dalam pasal 5 dan 6 Hukum Sipil diatur bahwa wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa izin wali. Sebagai konsekuensi dari legislasi ini, perkawinan anak secara efektif dapat terhapus, dan kekuasaan wali memaksa wanita (ijbar) hanya berlaku dengan memperhatikan kondisi gadis-gadis antara umur 15 dan 16 tahun, walaupun demikian hal inipun masih bergantung kepada izin dari pengadilan.
Pada tahun 1978 Majelis Revolusioner menerbitkan sebuah keputusan (nomor 7) mengenai perkawinan anak yang menyatakan, bahwa perkawinan gadis di bawah umur 16 tahun dan pemuda di bawah 18 tahun adalah terlarang, dan pelanggar dapat dikenakan hukuman penjara antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Dengan demikian walaupun oleh syariah tidak memberikan batas usia dewasa untuk layak melangsungkan perkawinan namun dalam hukum keluarga di Afghanistan telah dilakukan reformasi sejalan dengan perkembangan zaman dan kondisi sosiologis masyarakat setempat. Tegasnya, bahwa ukuran kedewasaan secara fisik sangatlah relatif dan berbeda antara suatu negara dengan negara lainnya, bahkan berdasarkan perbedaan zaman. Batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan umur 16 atau 17 tahun bagi wanita Afghanistan memang sesuai realitas masyarakat di sana yang umumnya sudah layak menikah. Dalam hal ini batas umur dewasa untuk menikah bagi wanita mengalami reformasi yang semula minimal 17 tahun berubah menjadi 16 tahun. Untuk memberikan daya paksa terhadap aturan batas usia menikah bagi warga negaranya, maka aturan hukum keluarganya disertai dengan hukuman fisik. Sebab aturan hukum akan lebih efektif ditaati masyarakat jika disertai sanksi yang memaksa dibandingkan dengan aturan hukum yang tidak mempunyai daya paksa. Izin melangsungkan perkawinan bagi gadis atau pemuda yang belum mencapai usia dewasa untuk menikah melalui pengadilan hampir sama dengan hukum keluarga di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Hanya bedanya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengenal khiyar al-bulug bagi orang yang menikah di bawah umur.
POLIGAMI
Ada dua contoh reformasi mengenai poligami di Afghanistan. Pertama, terjadi di bawah Nizamnama dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan tahun 1921. Kedua, Hukum Sipil 1977. Namun Undang-undang Perkawinan 1921 berumur pendek dan segera ditinggalkan bersamaan dengan jatuhnya Raja Amanullah, dan penyebaran Konstitusi 1931, yang menyatakan bahwa hukum Hanafi akan diberlakukan di pengadilan. Karena itu pedoman hukum Hanafi dipraktekkan sampai Hukum Sipil datang dengan membawa pengaruhnya. Selama periode ini beberapa undang- undang parlemen diberlakukan mengenai perkawinan, akan tetapi tidak ada ketentuan dan hal-hal yang berkaitan dengan poligami.
Menurut Undang-undang Tahun 1971 dan Hukum Sipil 1977, poligami hanya diizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar. Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi syarat minimal bagi izin pengadilan. Di samping itu, ada alasan hukum untuk poligami. Tidak mempunyai anak menjadi salah satu alasan poligami. Untuk memastikan kebenaran alasan ini, pasangan suami isteri menunggu minimal enam sampai delapan tahun berumah tangga. Suami disyaratkan harus menunjukkan bukti kesuburannya untuk meyakinkan pengadilan. Berkenaan dengan hal itu, pengadilan mengadakan pemeriksaan secara medis terhadap kedua pasangan itu. Jika isteri ternyata mandul, dan suami subur, maka pengadilan memberikan izin bagi suami untuk berpoligami. Izin isteri yang masih hidup juga bisa menjadi pertimbangan mendapatkan izin poligami. Sebaliknya, jika ketidaksuburan ternyata ada pada suami, isteri berhak mengajukan gugatan cerai di pengadilan.
Izin poligami dengan alasan tidak mempunyai anak bertujuan untuk mencegah bubarnya keluarga (putusnya perkawinan). Karena keberadaan anak akan dapat membantu memenuhi nafkah sehari-hari di saat orang tuanya sudah uzur serta dapat menjadi pendorong semangat hidup mereka. Jelasnya, bahwa anak merupakan dambaan setiap pasangan suami isteri. Bahkan anak saleh akan menjadi investasi akherat yang dapat memberikan pahala kepada kedua orang tua walaupun keduanya telah meninggal dunia. Karena itu kegagalan mendapatkan keturunan dijadikan sebagai alasan poligami dalam hukum keluarga di Afghanistan, adalah merupakan respon positif terhadap fenomena kegagalan memperoleh anak bagi pasangan suami isteri yang terjadi di sana. Perlunya izin pengadilan, pada hakekatnya bertujuan agar poligami tidak menjadi liar yang bisa menimbulkan kezaliman terhadap isteri terutama isteri tua. Sehingga hukum keluarga tersebut dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat, bukan sebaliknya justru membawa kesusahan dalam kehidupan masyarakat.
PERCERAIAN
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh Hukum Hanafi. Bagian Hukum Sipil mengenai perceraian, menggambarkan pengecualian, karena lebih didasarkan pada fiqh Maliki daripada fiqh Hanafi. Akan tetapi fenomena ini bukan hal aneh di Afghanistan, sebab pada umumnya negara-negara penganut fiqh Hanafi memang terkadang mengadopsi hukum Maliki dalam legislasi modern mengenai perceraian. Hal ini dikarenakan kelebihan pada hukum Maliki mengenai perceraian, dan secara faktual memang hukum ini mengakui eksistensi perceraian di pengadilan seluas-luasnya dibandingkan dengan mazhab hukum Islam lainnya.
Hukum Sipil tidak berusaha menjaga keadilan antara kedua pasangan. Sebaliknya, hukum ini membiarkan hak laki-laki untuk menceraikan isteri secara sepihak. Posisi isteri hanya dapat lebih baik dalam segi-segi tertentu: dia diberi kekuasaan untuk melawan penyalahgunaan wewenang suaminya dengan mencari keringanan dari pengadilan. Hal ini bagaimana pun juga merupakan bentuk cakupan dari pendekatan reformasi. Ini berarti, reformasi hukum keluarga di Afghanistan, bersifat fleksibel, tidak kaku hanya mengacu kepada mazhab Hanafi yang dominan dalam masyarakat setempat.
Walaupun begitu tidak ada langkah-langkah yang diambil dalam hukum ini untuk memberi kompensasi kepada isteri dalam kasus penyalahgunaan wewenang oleh suami dalam masalah talak. Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di samping meningkatkan hak-hak wanita dalam mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penyalahgunaan yang tepat dari hak-hak talak suami. Namun Hukum Sipil Afghanistan tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan tersebut. Partisipasi orang tua juga dianjurkan dalam proses penyelesaian perselisihan keluarga.
Untuk memfasilitasi hal ini, diusulkan bahwa semua otoritas yang berkaitan dengan perceraian diserahkan kepada pengadilan, atau majelis daerah, dimana yang bertindak sebagai hakim dalam perkara perselisihan keluarga adalah wanita di antara anggotanya. Para hakim wanita diangkat di Kabul dan di beberapa daerah pusat urban lainnya. Pengangkatan hakim wanita itu bisa diterima masyarakat setelah diberi penjelasan tentang pentingnya hakim wanita dalam penyelesaian perselisihan keluarga.
Adapun dasar pemilihan hakim wanita dalam perkara perselisihan keluarga karena biasanya wanita lebih dapat menerima sesama wanita dalam memecahkan masalahnya. Wanita yang biasanya tidak diberi kesempatan beraktivitas di kantor-kantor publik, secara perlahan dan hati-hati dikikis. Tujuannya adalah untuk memperbaiki keadaan dan menjamin hak wanita.
Hak ini sering diabaikan oleh penuntut karena adanya keinginan wali atau kerabat menguasai hak itu. Akibatnya, wanita sering gagal mendapatkan haknya secara efektif di pengadilan. Pengaturan pengadilan yang memperhatikan nasib dan berusaha menjamin hak-hak wanita menekankan kehadiran wanita di pengadilan, dan menghindari sedapat mungkin penjelasan tentang persoalan wanita oleh wali atau wakil-wakilnya. Ketentuan-ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan berkisar pada hal-hal berikut:
(a) kewajiban pencatatan perkawinan;
(b) izin pengadilan untuk melakukan bigami;
(c) intervensi pengadilan dalam masalah talak atau khulu’
(d) adanya keputusan pengadilan terhadap hak cerai isteri dalam sejumlah alasan-alasan khusus
(e) adanya hak ibu yang telah diceraikan untuk mengasuh anak, dan
(f) pengakuan status wanita yang sama dengan pria.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa dalam beberapa hal Afghanistan berpegang pada mazhab Hanafi, terutama perlunya intervensi pengadilan dalam perkara talak, atau khulu’ yang menurut mazhab Hanafi membolehkan intervensi pihak lain. Juga pengakuan adanya hak cerai bagi isteri dengan alasan-alasan khusus, dan hak ibu untuk mengasuh anaknya. Di samping itu Afghanistan juga memasukkan reformasi di bidang hukum di luar mazhab-mazhab yang ada, seperti keharusan pencatatan perkawinan, izin pengadilan untuk melakukan poligami, dan disyaratkan persetujuan terlebih dahulu dari isteri atau para isteri yang ada. Bersamaan dengan itu itu juga ada pengakuan kesetaraan antara wanita dan pria dalam hukum keluarga.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, bahwa materi reformasi hukum keluarga di Afghanistan memiliki persamaan dengan materi reformasi hukum keluarga di negara Islam lain di dunia seperti Indonesia seperti mahar, adanya izin pengadilan dan isteri atau para isteri yang ada dalam poligami, khulu’yang diajukan isteri jika rumah tangganya tak dapat dipertahankan lagi. Di samping itu perlu dikemukakan, bahwa reformasi hukum keluarga di Afghanistan, baru berkisar di bidang perkawinan (munakahat), khususnya mahar, perkawinan anak, poligami dan perceraian belum menyentuh bidang hukum keluarga lainnya, seperti waris, dan wasiat, lebih disebabkan oleh kondisi negaranya yang senantiasa mengalami konflik peperangan yang berkepanjangan. Sehingga perhatian pemerintah lebih terarah kepada pemeliharaan keamanan dalam negeri. Dengan demikian jika kondisi keamanan negara Afghanistan kembali kondusif, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya reformasi hukum keluarga secara lebih luas di bidang hukum keluarga selain perkawinan.
Comments