AYAT DAN TAFSIR AHKAM TENTANG NUSYUZ

PENDAHULUAN
Pernikahan adalah ajaran Islam yang pokok yang ditegaskan sebagai sunnah Rasul, yang mana barangsiapa menolaknya maka dia tidak termasuk golongan Rasul. Tujuan Islam mensyari'atkan pernikahan, antara lain, adalah agar pasangan suami isteri dapat hidup tenang dalam cinta dan kasih sayang. Kehidupan tenang diliputi cinta dan kasih sayang akan memudahkannya untuk melaksanakan misi penciptaan sebagai manusia, yaitu abdullah dan khalifatullah.

Untuk itu, Islam mengajarkan cara bagaimana membentuk rumah tangga yang tenang penuh dengan cinta dan kasih sayang yang dirumuskannya secara garis besar dengan saling mempergauli dengan baik (بالمعروف  ( معا شرة. Namun realitasnya, seringkali kita menemukan gangguan-gangguan yang rnenyebabkan tidak tercapainya tujuan tersebut (مودة ورحمة). Diantara gangguan itu adalah perilaku nusyuz, baik dari pihak isteri maupun suami. Dalam diskursus kesetaraan gender, sering dilontarkan kritik, bahwa dalam ayat-ayat mengenai nusyuz. secara tidak langsung Islam melegitimasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu, kekerasan suami kepada isteri.


II. AYAT DAN HADITS AHKAM TENTANG NUSYUZ
SURAH AL-NISA' AYAT 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya : "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar".

MAKNA MUFRADAT
قوامون : Sighot mubalaghoh dari kata قوام yang berasal dari kata قام , yang berarti melaksanakan suatu urusan dengan sempurna, mernenuhi segala rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya. Kalau ia rnelaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-uiang maka la dinamai قوام, sebagaimana orang salat. Seringkali kata ini diterjemahkao pemimpin. Kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.
قانتات : Wanita yang terus menerus taat. Artinya selalu taat kepada Allah dan  suaminya.
حفظت للغيب: Wanita yang menjaga diri dan kehormatannya.
نشوز هن : نشوز arti bahasanya adalah ارتفاع (ketinggian). Wanita yang nusyuz adalah    wanita yang tinggi hati kepada suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya dan yang benci kepada suaminya.
واهْجًرًوْ هًنَّ فِي الْمَضَاجِع: Tinggalkanlah mereka (isteri) dari tempat tidur.

ASBABUN NUZUL AYAT
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kasus yang dialami oleh Said binRabi yang telah menampar istrinya, Habibah binti Zaid bin Abi Hurairah, karena telah melakukan nusyuz  (pembangkangan). Habibah sendiri kemudian datang kepada Rasulullah Saw. dan mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasul. Rasul kemudian memutuskan untuk menjatuhkan qishas  kepada Said. Maka turunlah surat an-Nisa ayat 34 ini. Rasulullah saw. pun lalu bersabda (yang artinya), Aku menghendaki satu perkara, sementara Allah menghendaki perkara yang lain. Yang dikehendaki Allah adalah lebih baik. Setelah itu, dicabutlah qishas tersebut.
Dalam riwayat yang lain, sebagaimana secara berturut-turut dituturkan oleh al-Farabi, Abd bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Ibn Murdawiyah, dan Jarir bin Jazim dari Hasan. Disebutkan bahwa seorang lelaki Anshar telah menampar istrinya. Istrinya kemudian datang kepada Rasulullah Saw dan mengadukan permasalahannya. Rasulullah memutuskan qishash di antara keduanya. Maka turunlah ayat berikut:
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا (114(
 Artinya: “Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu,  dan Katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. (QS. Thaha : 114).
Ayat di atas tersebut sebagai teguran kepadanya dan surat an-Nisa ayat 34 sebagai ketentuan hak suami di dalam mendidik istrinya.

3.  PENJELASAN
1.  ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
 Artinya, “kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita”.
Ibnu ‘Abbas rahimahullah berkata, “Qawwamun artinya kaum pria diberi kekuasaan untuk mendidik kaum wanita dalam masalah hak.”
Kaum pria diberi kekuasaan untuk mengharuskan kaum wanita menunaikan hak-hak Allah subhanahu wa taala, yaitu menjaga perkara-perkara yang diwajibkan-Nya (seperti shalat dan semisalnya), dan mencegah mereka dari berbuat kerusakan dan kemaksiatan. Selain itu, kaum pria juga diberi kemampuan untuk memberikan nafkah, pakaian, dan tempat tinggal kepada kaum wanita. (at-Taisir lis Sadi hlm. 178)
 2. بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ
Artinya, “karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)”.
Inilah sebab kaum pria menjadi pemimpin bagi kaum wanita, yaitu keutamaan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa taala kepada mereka, kaum pria, atas kaum wanita.
Berikut di antara keutamaan dan kekhususan pria.
Pemimpin pemerintahan adalah pria.
Dalam Islam, wanita adalah makhluk ciptaan Allah subhanahu wa taala yang dimuliakan, bahkan telah diangkat menjadi pemimpin. Akan tetapi, wanita menjadi pemimpin di dalam rumahnya. Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda,
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ
“Wanita adalah pemipin atas penghuni rumah suaminya dan atas anak suaminya. Dia (wanita) bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Wanita bukanlah pemimpin umat, pemimpin negara, dan yang semisalnya, dengan dalih emansipasi wanita. Syariat agama ini telah melarang wanita menjadi pemimpin, kecuali pemimpin bagi anggota keluarganya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda,
اَلْآنَ هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ. هَلَكَتِ الرِّجَالُ إِذَا أَطَاعَتِ النِّسَاءَ . . . ثَلَاثًا
“Sekarang, celakalah kaum pria jika menaati kaum wanita, celakalah kaum pria jika menaati kaum wanita….” (Beliau menyabdakannya) tiga kali. (HR. Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil 1/38, Abu Nu’aim dalam Tarikh Ashbahan 2/34, dan al-Hakim 4/291; dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-‘Irwa 2/227).
Beliau juga bersabda,
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan jaya suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita. (HSR. al-Bukhari dari Abu Bakrah z)
Jabatan pemimpin adalah amanat yang, tentu saja, harus diserahkan kepada ahlinya. Mayoritasnya, kaum pria lebih berhak mengemban amanat tersebut. Allah subhanahu wa taala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يَأمُرُكُم أَن تُؤَدُّواْ ٱلأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰ أَهلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (al-Nisa’: 58)
Kaum pria lebih berakal dan lebih beragama.
Disebutkan dalam hadits,
أَنَّ أَبَا سَعِيْدٍ قَالَ: خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى، فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ. فَقُلْنَ: لِمَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِيْنٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ عَقْلِنَا وَدِيْنِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِيْنِهَا
Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah shalallahu alaihi wassalam keluar ke mushalla (lapangan shalat Id) untuk menunaikan shalat Idul Adha atau Idul Fitri. Tatkala melewati kaum wanita, beliau bersabda, Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian! Sesungguhnya, telah diperlihatkan kepadaku bahwa kalian menjadi mayoritas penduduk neraka. Mereka (kaum wanita) bertanya, Mengapa demikian, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, Kalian sering melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami. Aku tidak melihat kaum yang kurang akal dan agamanya, yang lebih mampu menghilangkan akal seorang priayang kokoh hatinyadaripada salah seorang dari kalian. Mereka bertanya lagi, Apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama kami, wahai Rasulallah? Beliau bersabda, Bukankah persaksian seorang wanita seperti separuh persaksian seorang pria? Mereka berkata, Ya, benar. Beliau bersabda lagi, Itulah yang menunjukkan kekurangan akalnya. Bukankah ketika haid, dia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka berkata, Ya, benar. Beliau bersabda, Itulah yang menunjukkan kekurangan agamanya’.” (HR. al-Bukhari)
Pria mendapat jatah harta warisan yang lebih banyak.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِي أَولَٰدِكُم لِلذَّكَرِ مِثلُ حَظِّ ٱلأُنثَيَينِ
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta warisan) anak-anak kalian, (yaitu bagian jatah) untuk seorang anak lelaki sama dengan (bagian) dua orang anak perempuan. (An-Nisa: 11)
Kaum pria dikenai kewajiban shalat Jumat dan shalat berjamaah, dan merekalah yang melakukan khotbah, azan, dan itikaf.
Hak talak dan rujuk ada di tangan kaum pria.
Anak keturunan dinisbahkan kepada bapak.
Kaum pria terkena perintah berjenggot, disunnahkan mengenakan imamah (serban), dan boleh menampakkan wajah.
Pria boleh menikahi wanita lebih dari satu (poligami).
Pria boleh berhubungan (halal bersetubuh) dengan budak perempuannya.
Para nabi dan rasul adalah dari kalangan pria.
Kaum pria mengikuti jihad dan berhak mendapat ghanimah (harta rampasan perang).
3.  وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ
Artinya, “dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, yang dimaksud adalah mahar dan nafkah. Ibnu Katsir menambahkan, termasuk pula segala biaya yang diwajibkan oleh Allah subhanahu wa taala atas pria untuk istrinya.
4.  فَٱلصَّٰلِحَٰتُ
Artinya, “maka wanita yang salihah”.
Ada dua pendapat tentang tafsir potongan ayat tersebut.
Wanita yang baik terhadap suaminya. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas.
Wanita yang beramal kebaikan. Ini pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnul Mubarak, dan lainnya.
 5. قَٰنِتَٰتٌ
Artinya, “yang taat”.
Ibnu ‘Abbas dan yang selainnya berkata bahwa maksudnya adalah wanita yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kepada suami mereka.
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
خَيْرُ النِّسَاءِ امْرَأَةٌ إِنْ نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِنْ أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي مَالِهَا وَنَفْسِهَا؛ وَتَلَا قَوْلَهُ تَعَالَى: فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ … اَلآيَةَ
“Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika kamu melihatnya, dia menyenangkanmu, jika kamu memerintahnya, dia menaatimu, dan jika kamu tidak ada di sisinya, dia menjagamu dalam hal hartanya dan dirinya.” Kemudian, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membaca ayat (ini), “Fash-shaalihaatu qaanitaatun.”
6. حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ
Artinya, “menjaga diri ketika suaminya tidak ada”.
‘Atha, Qatadah, as-Suddi, dan yang selainnya berkata bahwa mereka adalah (wanita) yang menjaga dirinya dan harta suaminya tatkala sang suami tidak ada.
7. بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ
Artinya, “karena Allah telah menjaga mereka.
Ada tiga pendapat tentang tafsir potongan ayat tersebut.
Mereka terjaga dengan penjagaan Allah terhadap mereka. Ini pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, dan Muqatil.
Mereka terjaga dengan penjagaan Allah untuk mereka dengan mahar (maskawin) dan kewajiban nafkah kepada mereka. Ini pendapat az-Zajjaj.
Ketika suami tidak ada, mereka (para wanita) menjaga sesuatu yang dengannya suami menjaga perintah Allah subhanahu wa taala. Ini pendapat az-Zajjaj dan yang lainnya. (Zadul Masir 2/47)
 8. وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
Artinya, “Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya”.
Pendapat ulama tentang tafsir al-khauf (khawatir)
Maknanya al-‘ilmu (tahu). Ini pendapat Ibnu ‘Abbas.
Maknanya dugaan terhadap munculnya tanda-tanda nusyuz. Ini pendapat al-Farra.

Pendapat ulama tentang tafsir nusyuz
Kemaksiatan para istri. Ini pendapat Ibnu Abbas. Lihat Tafsir ath-Thabari 8/300, Tafsir Ibni Katsir 1/492, dan Ahkam al-Quran 1/418.
Istri tidak mau mendatangi suami, mencegah suami dari dirinya, dan mengubah segala sesuatu yang sepatutnya dilakukan oleh pasangan suami istri. Ini pendapat Atha.
Nabi shalallahu alaihi wassalam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ بَاتَتْ هَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Wanita mana pun yang bermalam dengan pisah ranjang (dengan) suaminya, malaikat melaknatnya sampai pagi.” (HR. al-Bukhari 6/214 dalam Bad’il Khalqi)
Kebencian sang istri kepada suaminya. Ini pendapat Abu Manshur.
Istri merasa lebih tinggi daripada suaminya (mengatur suaminya), menentang perintah suami, dan benci saat melihat suaminya. Ini pendapat Ibnu Katsir.
Istri yang seperti ini adalah seperti wanita sakit yang perlu diterapi. Adapun ayat yang setelahnya menyebutkan bimbingan al-Khaliq tentang cara mengobati penyakit tersebut secara bertahap.
9. فَعِظُوهُنَّ
Artinya, “maka nasihatilah mereka”.
Al-Khalil t berkata, “Menasihatinya dengan kebaikan yang bisa melembutkan hatinya.”
Suami menjelaskan hukum Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal ketaatan istri kepada suami dan hukum bermaksiat dan berbuat makar kepadanya. Suami juga menjelaskan pahala bagi istri yang taat dan balasan azab bagi istri yang berbuat makar dan bermaksiat.
Ar-Razi berkata, Suami mengawalinya dengan perkataan yang lembut. Jika hal ini tidak bermanfaat, suami menasihatinya dengan perkataan yang lebih keras, kemudian tidak tidur seranjang dengannya, kemudian berpaling darinya sepenuhnya, kemudian memukulnya dengan pukulan yang ringan. (al-Bahr al-Muhith 3/252)
10. وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ
 Artinya, “dan jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka.”
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ayat ini.
Meninggalkan persetubuhan (dengan istrinya). Pendapat ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair, Ibnu Abi Thalhah, dan al-Aufi dari Ibnu Abbas. Ini juga merupakan pendapat Said bin Jubair dan Muqatil.
Tidak mengajaknya berbicara, bukan meninggalkan persetubuhan. Ini riwayat Abudh Dhuhha dari Ibnu Abbas, dan riwayat Khushaif dari Ikrimah. Ini juga merupakan pendapat as-Suddi dan ats-Tsauri.
Tidak mengajaknya berbicara di ranjang. Ini riwayat Ibnu Abbas, al-Hasan, dan Ikrimah.
Pisah ranjang. Ini riwayat al-Hasan, asy-Syabi, Mujahid, an-Najmi, Miqsam, dan Qatadah.
Para ulama berkata bahwa ayat ini menunjukkan tahapan yang berurutan. Nasihat diberikan tatkala istri dikhawatirkan nusyuz, alhajr (pisah ranjang) dilakukan tatkala mulai tampak perbuatan nusyuznya, dan adh-dharb (pemukulan) dilakukan tatkala istri sering atau terus-menerus berbuat nusyuz. Pemukulan tidak boleh dilakukan pada awal nusyuz. (Zadul Masir 2/48)
11. فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ
Artinya, “Kemudian, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka”.
12. إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا
Artinya, “Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Ini ancaman bagi suami jika menganiaya istri tanpa sebab, karena sesungguhnya Allah-lah wali mereka (para istri), Yang Mahatinggi dan Maha Besar. Dia adalah Pembalas bagi siapa saja yang menzalimi dan menganiaya mereka.
Melalui ayat ini Allah Swt. mengingatkan kita bahwa terdapat sebab kelebihan seorang laki-laki atas seorang wanita, setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan bagian dari masing-masing (pria maupun wanita) dalam waris dan melarang keduanya untuk mengangan-angankan kelebihan yang telah Allah tetapkan bagi sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita).
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka pada masa lalu, mereka pada umumnya sepakat manakala membedah pengertian “الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ  ”, bahwa laki-laki baik dalam konteks keluarga maupun bermasyarakat, memang ditakdirkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural antara keduanya, dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena proses sosial,seperti dipahami oleh penganut teori culture.
Pada kalimat  الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء  bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, yang lebih dituakan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan yang berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. Seorang pria berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita. Oleh karena itu, jihad menjadi kewajiban atas pria,dan tidak berlaku bagi wanita. Pria juga mendapatkan bagian waris yang lebih besar daripada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung nafkah atas wanita.
Imam Ash-Shabuni menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memiliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya..
Pada frasaبِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ, huruf ba’ nyaadalah ba sababiyah yang berkaitan erat dengan kata  . قَوَّامُونَDengan begitu dapat dipahami, bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita adalah karena kelebihan yang telah Allah berikan kepada mereka (kaum pria) atas kaum wanita.
Dalam tafsirnya yang terkenal, Ibn Katsir menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita”..(QS al-Baqarah: 228). Selain itu, karena laki-lakiberkewajiban menafkahi istri dan anak anaknya.
Dalam kurun yang amat panjang, dari mulai Ibn Abbas, at-Thabari,  bahkan hingga Imam Ali ash-Shabuni, tafsir tersebut tidak banyak digugat, kecuali belakangan manakala pemikiran-pemikiran Islam mulai bersinggungan denganwacana pemikiran Barat dan juga fakta yang memang menunjukkan tidak sejalannya lagi penafsiran tersebut dengan realitas kontemporer.
Ibn Abbas, misalnya, mengartikan kata قَوَّامُونَ  sebagai pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik wanita. Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi al-Bantani (1981: 149) dalamkitab tafsirnya Marah Labid.
Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan, bahwa kata قَوَّامُونَ bermakna penanggung jawab, dalam arti, pria bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.
Al-Baghawi, ketika menafsirkan kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ  ,menyatakan bahwa maknanya adalah pria (suami) berkuasa untuk mendidik wanita (istrinya). Artinya, prialah yang menjalankan berbagai kemaslahatan,pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah berikan kepadanya atas wanita. Pria memiliki kelebihan atas wanita dari segi akal, agama, dan kewalian. Pria, misalnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad,ibadah (seperti salat Jumat dan salat berjamaah); kebolehan menikahi sampai empat istri; hak talak; dalam warisan mendapat dua bagian; dst. Semua itu tidak dimiliki wanita.
Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, pria adalah pemimpin wanitakarena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena priadiberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpinatas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surat an-Nisa ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk mendidik wanita.
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakanbahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal yangmemang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha.
Tentang kelebihan laki-laki atas wanita, Imam Ali ash-Shabuni dalamtafsirnya juga mengatakan bahwa kalimat الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءAdalah jumlah ismiyyah yang berfungsi sebagai  dawam dan istimrar  (tetap dan kontinu).


SURAT AN-NISA’:128
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا (128(
Artinya :“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa:128)


III. NUSYUZ DALAM HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa kewajiban-kewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah, menyediakan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi isteri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari isterinya.Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila isteri nusyuz.
Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama isteri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap isterinya seperti yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya. Dan untuk kewajiban suami terhadap isteri nusyuz yang gugur tersebut belaku kembali jika isteri sudah tidak nusyuz lagi.
Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116.
Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut, walaupun seorang isteri memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri. Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya  saat ia nusyuz, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan wanita, serta lemahnya isteri untuk dapat menanggulangi suami.
Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.
Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakamlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakam dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Hakam juga membolehkan sang isteri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami belum sadar juga, maka hakam dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki diri, maka hakam boleh memutuskan perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakam.

IV.MENURUT HADIST
Beberapa Hadits berkaitan dengan masalah nusyuz ini adalah sebagai berikut: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas telah menyatakan dengan arti sebagai berikut bahwa:
  Ketika seorang sahabat Rasulullah salah seorang guru Naqib mengajarkan agama kepada kaum Anshar, bernama Saad bin Rabii bin Amr, berselisih dengan isterinya bernama Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair. Suatu ketika Habibah menyanggah nusyuz kepada suaminya Saad itu.Lalu Saad menempeleng muka isterinya itu.Maka datanglah Habibah ke hadapan Rasulullah SAW ditemani oleh ayahnya sendiri, mengadukan hal tersebut. Kataayahnya: Disekat tidurnya anakku, lalu ditempelengnya. Serta merta Rasulullah SAW menjawab: Biar dia balas (qishash). Artinya Rasulullah SAW mengizinkan perempuan itu membalas memukul sebagai hukuman, tetapi ketika Bapak dan anak perempuannya telah melangkah pergi maka berkatalah Rasulullah SAW: Kemauan kita lain, kemauan Tuhan lain, maka kemauan Tuhan lah yang baik.
Hadits tersebut menceritakan tentang penafsiran Ibnu Abbas bahwa dalam kasus di atas telah terjadi pemukulan oleh suami terhadap isteri sebagaimana yang dibolehkan dalam Q.S an Nisa: 34. Namun adanya jawaban dari Rasulullah SAW yang membolehkan untuk membalas pukulan suami Habibah tersebut, menerangkan bahwa meskipun Q.S an Nisa: 34 membolehkan pemukulan terhadap isteri akan tetapi tidak boleh yang bersifat menyakiti apalagi membuatnya menderita. Al Qurtubi menyatakan bahwa: Pemukulan di sini adalah pukulan yang tidak menyakiti dan ini merupakan tindakan yang mendidik dan dimaksudkan untuk merubah prilaku isteri.
Hadits Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah sebagai berikut: Dari Muawiyah bin Hidah r.a ia berkata, saya bertanya: Wahai Rasulullah apa hak isteri pada kita? Beliau menjawab, Engkau memberi makan kalau engkau makan, engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan memisahkannya kecuali masih dalam rumah.
Hadits tersebut lebih lanjut mengatur pemukulan yang dibolehkan syariat oleh suami terhadap isteri yaitu pukulan yang tidak membahayakan, seperti tidak boleh memukul wajah dan daerah-daerah yang sensitif serta lemah.Juga tidak dibenarkan memukul dengan alat yang menghinakan seperti sandal atau menyepak dengan kaki, karena hal ini berarti merendahkan martabat dan menjatuhkan harga dirinya. Hadits diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibnu Abbas telah menyatakan dengan arti sebagai berikut bahwa: 
Dari Aisyah r.a tentang firman Allah : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Aisyah menjawab: Ia adalah wanita yang berada dalam kekuasaan laki-laki yang tidak memandang banyak kepada wanita, lalu ia ingin mentalaknya dan kawin dengan wanita lain. Isterinya berkata kepadanya: Peganglah aku dan janganlah engkau mentalakku, kemudian kawinlah dengan wanita selainku, maka kamu boleh (halal) tidak memberikan nafkah dan giliran kepadaku.
Hadits tersebut berawal dari kisah Saudah binti Zamah yang takut diceraikan oleh Rasulullah SAW karena sudah tua dan kemudian memberikan waktu gilirannya kepada Aisyah r.a karena Saudah mengtahui kedudukan Aisyah dihati Rasulullah asalkan dia tidak ditalak oleh Rasulullah SAW.
Hadits diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW ketika berkhutbah kepada manusia telah mengatakan dengan arti sebagai berikut:
Maka bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan yang telah kamu ambil mereka dengan amanah Allah, dan mereka itu juga dihalalkan bagi kamu dengan nama Allah, dan bagi kamu ada kewajiban isteri yaitu mereka tidak boleh mengizinkan seseorang pun yang tidak kamu senangi untuk tidur di atas tempat tidurmu, jika isteri masih melakukannya maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan, dan bagi kamu (suami) sekalian mempunyai kewajiban untuk memberi makan dan pakaian mereka (para isteri) dengan baik.
Hadits Rasulullah SAW dari Abi Harroh al Riqasy, dari pamannya bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka pisahkanlah diri mereka dari tempat tidurmu.

V. HUKUM YANG TERKANDUNG
Menurut Muhammad Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh isteri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya:
Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.
Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).
Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.
Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.
Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa Ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafii, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz. Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.
Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syari atau secara aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
Menurut madzhab Hanafi, apabila seorang isteri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syari maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang isteri di rumah suami.

VI. Nusyuz dari Pihak Isteri
Sebagaimana telah diuraikan pada pengertian nusyuz sebelumnya bahwa nusyuznya seorang isteri adalah apabila telah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang isteri dan tidak memberikan hak suami. Seperti yang diungkapkan Muhammad Ali Ash Shabuni bahwa yang dimaksud dengan nusyuz isteri adalah: Kedurhakaan dan kecongkakan isteri dari mentaati suami.
Ahmad bin Ismail mengumpamakan perbuatan nusyuz isteri itu dalam bukunya antara lain: Misal perbuatan nusyuz itu antara lain: tidak mau diajak suaminya untuk bergaul tanpa ada ujur menurut syara, keluar dari rumah tanpa seizin suami yang bukantujuannya ke rumah qadi (hakim) untuk menuntut haknya dari suami, atau membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah.
Pendapat lain yang dikategorikan perbuatan nusyuz bagi isteri adalah: Adapun keluarnya seorang isteri dari rumah suami tanpa seizin suami, atau isteri musafir tanpa seizin suami, ataupun ihram isteri ketika musim haji tanpa seizin suami, maka isteri tersebut tergolong nusyuz, kecuali keluarnya isteri tersebut karena darurat.Pendapat di atas dikuatkan oleh Hanabilah yaitu suami tidak wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami. Ulama Syafiiyah menambah kriteria isteri yang nusyuz di atas dengan isteri yang puasa sunat tanpa seizin suami, sebagaimana ungkapannya: Jika isteri tidak mau diajak suami dengan alasan puasa, jika puasanya itu puasa sunat, maka benar menurut Syafiiyah bahwa nafkahya gugur.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kriteria ataupun perbuatan isteri yang dianggap nusyuz adalah:
Tidak mau diajak suaminya sekamar (untuk bergaul) tanpa ada penghalang menurut syara
2.Isteri yang keluar dari rumah tanpa seizin suami untuk keperluannya sendiri.
3.Isteri membolehkan masuk seseorang yang dibenci suami ke dalam rumah.
4.Isteri puasa sunat tanpa seizin suami.
 Adapun hukuman atau sanksi bagi isteri yang nusyuz adalah: pertama dinasehati, kedua pisah ranjang, ketiga dipukul. Suami tidak boleh terburu-buru menuntutnya, menghukumnya dan tidak boleh segera menyakitinya, artinya tidak boleh dilakukan hukuman yang ketiga sebelum dilakukan hukuman yang pertama dan yang kedua, akan tetapi mestilah suami terlebih dahulu menasehati dan mengingatkan isteri kepada Allah serta mengingatkan akibat dari perbuatan nusyuz tersebut. Kemudian jika isteri itu masih tetap dalam kedurhakaannya kepada suami, maka suami boleh berpisah tempat tidur dengan isterinya atau tidak tidur sekamar. Apabila isteri juga belum menyadari perbuatan nusyuznya  atau tidak berhenti dari kesesatannya, maka suami dibolehkan memukulnya dengan pukulan yang ringan atau pukulan yang tidak membekas (hanya sebagai pelajaran). Hukuman ini sesuai dengan firman Allah dan Hadits Rasulullah SAW. Adapun firman Allah dalam Q.S an Nisa: 34 menyatakan bahwa: Wanita-wanita yang kamu khawatiri nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Adapun Hadits Rasulullah SAW dari Abi Harroh al Riqasy, dari pamannya bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka pisahkanlah diri mereka dari tempat tidurmu. Hadits lain yaitu: Jika kamu khawatir akan nusyuz mereka (isteri), maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah diri mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak berlebihan.
Ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi isteri nusyuz adalah suami berkewajiban terlebih dahulu menasehatinya dengan baik.Apabila isteri tetap nusyuz kepada suaminya dan tetap maksiat maka suami boleh memisahkan tempat tidur dari isterinya atau tidak sekamar.Apabila isteri juga belum menyadari kedurhakaannya, maka suami boleh memukul isteri dengan pukulan yang tidak berlebihan ataupun yang membahayakan.Artinya hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya tiga yaitu dinasehati, pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan.

Pendapat Ulama Fikih tentang Nafkah Bagi Isteri Nusyuz
“Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istri yang Nuzyuz tidak berhak atas nafkah, Artinya suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang Nuzyuz sampai istri tersebut taubat atau kembali taat kepada suami.
Sebagaimana pendapat Wahbah Al Zuhaili bahwa nafkah gugur atas istri yang Nuzyuz, walapun hanya dengan melarang menyentuhnya dengan ketiadaan ujur (halangan) pada istri. Pendapat yang sama menurut Sayyid Sabiq yaitu bahwa Tidak berhak dinafkahi dengan wafatnya salah satu diantara suami isteri atau isteri itu sedang nusyuz.
Pendapat Imam Hanabilah adalah gugur nafkah bagi isteri yang nusyuz, artinya; pada hari yang nusyuz tersebut isteri tidak berhak dinafkahi. Sedangkan Ibnu Taimiyahberpendapat bahwa: Apabila isteri nusyuz kepada suami maka tidak da nafkah baginya (isteri), dan suami boleh memukulnya apabila ia nusyuz. Begitu juga dengan pendapat Abu Bakar Al Jazairi bahwa : Nafkah menjadi tidak wajib kepada isteri, apabila ia berlaku nusyuz (menentang suami) atau isteri melarang suami untuk menggaulinya. Karena sesungguhnya nafkah itu merupakan imbalan dari bersenang-senang dengannya.Jika hal itu tidak bisa dilakukan maka gugurlah nafkah tersebut.Pendapat-pendapat ini dikuatkan oleh Hanabilah yaitu suami tidak wajib memberikan nafkah isteri yang musafir untuk keperluannya sendiri tanpa seizin suami.Berbeda dengan pendapat ulama di atas, Ibnu Hazm tetap mewajibkan suami untuk memberikan nafkah kepada isteri yang nusyuz berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan nyata, yaitu hukuman bagi isteri yang nusyuz hanya pisah ranjang dan dipukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Pendapat Ibnu Hazm tentang wajibnya nafkah bagi isteri menurut penulisadalah pendapat yang benar, sebab isteri yang sudah di talak suami semasa iddahnya (isteri) suami tetap berkewajiban untuk memberikan nafkahnya sebagaimana firman Allah pada Q.S at Talak : 6 yaitu : Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditala itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.
Pendapat Ibnu Hazm tentang tetapnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri nusyuz berdasarkan dalil di atas merupakan salah satu ide yang sangat baik demi kelangsungan dan keharmonisan keluarga terutama antara suami dan isteri.Dikatakan demikian, karena pada saat sekarang tidak sedikit para isteri selain sebagai ibu rumah tangga juga turut andil membantu suami dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah rumah tangga melalui aktifitas maupun karirnya sehari-hari. Bahkan banyak juga para isteri menjadi tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan lahiriyah keluarga, sehingga para isteri ini tidak mustahil akan berbuat nusyuz kepada suami dengan kondisi demikian.
Jika dilihat pendapat Ibnu Hazm dalam konteks masa kini, ide yang diberikan oleh Ibnu Hazm tentang tetap wajibnya nafkah bagi suami terhadap isteri yang nusyuzsangatlah baik, sebab jika seorang isteri berbuat nusyuz sedang ia tidak mempunyai penghasilan dalam kehidupannya, akan tetapi suami tetap menafkahinya dan menghukumnya dengan ketentuanyangadadalam Al-Qur'an dan Hadits, kemungkinan besar ia akan mudah sadar dariperbuatan nusyuznya dan mudah kembali taat kepada suami sebab suami tetap memperhatikannya walaupun ia nusyuz. Begitu juga dengan isteri yang sudah mempunyai penghasilan dengan aktivitas ataupun karirnya sehari-hari. Jika ia berbuat nusyuz terhadap suaminya dan ia masih tetap mendapat nafkah dari suaminya walaupun ia sudah mempunyai penghasilan, maka hatinya akan lebih mudah lagi tergugah dengan adanya nafkah tersebut, sebab yang dipandang di sini bukanlah nilai materi dari nafkah yang diberikan oleh suami akan tetapi nilai perhatian, kasih sayang dan kepatuhan suami yang tetap melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah terhadap isteri sehingga isteri akan mudah menyadari keberadaan dirinya yang masih di bawah tanggung jawab suami ataupun di bawah pimpinan suami, sebagaimana firman Allah dalam Q.S an-Nisa': 34 bahwa: Kaum laki-laki itu pemimpin bagi isteri, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Namun di dalam Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tentang nusyuz isteri yang menyatakan bahwa:
(1). Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.
(2).Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3). Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
 (4). Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas mengisyaratkan mengikuti pendapat jumhur fuqaha bahwa pemberian nafkah untuk isteri yang nusyuz tersebut berupa nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam dapat dihentikan untuk sementara waktu hingga sang isteri tidak nusyuz lagi. Namun, tidak semudah itu menyatakan isteri telah nusyuz karena harus didasarkan atas bukti yang sah.

Nusyuz dari Pihak Suami
Di dalam tafsir Al Azhar, tentang kenusyuzan suami disebutkan bahwa : Suami tidak senang atau sudah bosan atau telah benci kepada isterinya. Hal ini biasa kejadian pada orang yang beristeri lebih dari satu atau telah jatuh kepada perempuan lain.
Berikut adalah ayat yang mengindikasikan bahwa suami juga dapat berbuat nusyuz yaitu Q.S an Nisa: 128 yang artinya sebagai berikut:   Jika seorang perempuan melihat kesalahan atau nusyuz suaminya atau telah berpaling hatinya, maka tiada berdosakeduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya. Berdamailah itu lebih baik daripada bercerai.Memang manusia itu berperangai amat kikir.Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Mahamengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.
Karena ada setengah laki-laki karena sangat repot dan sangat sibuk mengurus pekerjaannya di luar, kadang-kadang terbawa-bawa ke dalam rumah tangga, sehingga seakan-akan isterinya tidak diperdulikannya, atau terkurang nafkah harta karena dia di dalam susah, atau terkurang syahwat kelamin karena kerapkali nafsu setubuh menjadi kendur karena fikiran yang kacau, sedang setengah perempuan lekas cemburu, lekas merasa dirinya tidak dipedulikan.
Nusyuz merupakan tindakan tidak memenuhi hak dan kewajiban oleh suami atau isteri dalam berumah tangga.Dalam hubungan suami isteri dalam rumah tangga bahwa suami mempunyai hak dan begitu pula dengan isteri mempunyai hak.Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula dengan isteri. Adanya hak dan kewajiban antara suami isteri dalam rumah tangga dapat dilihat dalam Q.S al Baqarah: 228 yang artinya sebagai berikut: Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri.”
Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan isteri juga mempunyai kewajiban.Kewajiban isteri merupakan hak bagi suami. Hak isteri seperti hak suami yang diindikasikan dalam ayat ini mengandung keseteraan dan keseimbangan kedudukan hak dan kewajiban tersebut namun suami memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga, sebagaimana ari  menjelaskan bahwa ik dan mental isteri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.
Dalam rumah tangga kedudukan suami adalah sebagai pemimpin yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala sesuatu dalam rumah tangga itu.Sedangkan seorang isteri sebagai ibu rumah tangga yang kedudukannya mempunyai tanggung jawab yang berbeda halnya dengan tanggung jawab suami.Tetapi walaupun demikian, isteri tidak berarti tidak mempunyai hak seperti suami untuk mentalak isteri, isteri juga mempunyai hak untuk mengkhulu suaminya.Akan tetapi, isteri dianjurkan agar mengadakan suluh (perdamaian) apabila dirasakan ada kelainan dsikap suami, seperti berpaling atau meninggalkan sebagian hubungan suami isteri.
Menurut Ibnu Qudamah bahwa : Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap isteri.
Pendapat tersebut didasarkan kepada Q.S an Nisa: 34 yang menjelaskan bahwa suami sebagai imam/pemimpin bagi isteri dalam rumah tangga.Nusyuz dari suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.Biasanya nusyuz suami ini terjadi apabila tuntutan isteri terlalu tinggi terhadap sesuatu yang di luar jangkauan (kemampuan) suami. Dengan demikian, solusinya yang tepat adalah bahwa isteri harus mengurangi dan menyederhanakan tuntutannya terhadap suaminya, jika ia memang menghendaki keutuhan dan keharmonisan rumah tangganya. Apabila isteri memilih cerai daripada bersikap seperti di atas, berarti ia telah melakukan kesalahan ngga serta runtuhnya mahligai perkawinan. dapun konsep nusyuz suami ini akan dibahas pada bab berikutnya secara lebih  endalam berikut dengan akibatnya. karena Al Quran telah memberikan jalan untuk itu yaitu dengan melakukan perdamaian (ishlah) antara keduanya.


KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa, laki-laki adalah pemimpin para wanita, ketika isteri tidak  menjalani hak dan kewajibannya maka telah gugur tugasnya sebagai seorang isteri, Yaitu jika isteri atau suami telah meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Biasanya sebab-sebab terjadinya nusyuz yaitu pemaksaan terhadap seorang wanita yang telah baligh supaya menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya, terkadang seorang isteri membenci suami karena mengetahui kejelekan peerilaku atau perbuatan suami yang tercela, terkadang isteri membenci suami karena kelemahan suami dalam melakukan hubungan seks dengannya tetapi rasa malunya enggan untuk mengungkapkan, dan lain sebagainya.
Dari pihak istri, nusyuz ialah jika isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami (Q.S Nisa: 128), dengan maksud membangkang kepada suami. Dari pihak suami, nusyuz ialah bertindak keras kepada isteri, tidak menggaulinya dan tidak pula memberi nafkah, atau sikap acuh tak acuh kepada isteri.Jika isteri nusyuz hendaklah dinasehati dengan baik. Jika tidak ada perubahan, boleh dipukul tetapi yang tidak membahayakan (Q.S an-Nisa: 34). Dan jika tetap tidak ada perubahan, maka hendaklah diserahkan kepada Juru Pendamai (hakam) dari kedua pihak untuk memutuskan cara yang terbaik (Q.S an Nisa: 35). Jika suami yang nusyuz, hendaknya diperdamaikan keduanya, untuk kerukunan berumah tangga.Jalan akhir, jika tidak dapat dicapai perdamaian, serahkan kepada Hakim untuk memutus perkaranya.
Istri yang Nuzyuz tidak berhak atas nafkah artinya suami tidak wajib memberikan nafkah kepada istri yang Nuzyuz sampai istri tersebut bertaubat atau kembali taat kepada suami.
Adapun langkah-langkah penanggulangan nusyuz isteri di antaranya, dengan pemberian nasehat, pisah dari tempat tidur hal ini dilakukan tanpa meninggalkan tempat tidur isteri, melainkan pisah di tempat tidur, dan bukan pergi meninggalkan tempat tidur atau ranjang, memberikan pukulan dan meminta bantuan juru damai dari keluarga isteri dan keluarga suami.

DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman ibn al-Kamal Jalaluddin as-Suyuthi, Dar al-Mansyur fi at-Tafsir al-Matsur , Beirut: Darul Fikr juz III.
Ali ash-Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr , Beirut: Darul Fikr.
Ali ash-Ash-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, Beirut: Darul Fikr.
Abu Jafar, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ath-Thabari, Jami al-Bayan anTawil al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr.
Ahmad Al Hajj  Al Kurdi, Hukum Hukum Wanita Dalam Fiqih Islam, DIMAS, (Semarang: DIMAS, 1990), hlm 63.
Al Anshari, Zakaria. Al Syarqawi ala Al Tahrir,(Jeddah: Al Haramain, 1990)
al Hajjaj,Abi al Husain Muslim bin.Shahih Muslim,(Beirut: Dar al Kitab al Alamiah, Libanon, 1990),
Al Jaziri, Abu Bakar Jabir.Pedoman Hidup Muslim, terjemahan oleh Hasanuddin dan Didin Hafidhuddin,  (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996).
Al Jaziry, Abdurrahman. Kitab Al Fiqh Ala Al Mazahib Al Arbaah,  (Mesir, Kairo: Al Taufiqiyah, 1969).
al Juhaily,Wahbah. Al Fiqh al Islam wa Adillatuh, (Mesir, Kairo: Dar al Fikr, 1989)
al Maraghi, Ahmad Musthafa.Terjemahan Tafsir al Maraghi,  (Semarang: Toha Putra, 1980)
Al Marbawi, Muhammad Idris.Kamus Al Marbawi,Al Nasyr, (Semarang: Al Nasyr, 1995)
Arabi, Ibnu. Tafsir al Qurtuby,  (Mesir, Kairo: Da ar Shafwat,1980),
Hambal, Ahmad  bin.  Musnad Ahmad bin Hambal, Dar al Kutub al Alamiah,( Libanon,Beirut: Dar al Kutub al Alamiah,, 1993).
HAMKA, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Ismail,Ahmad bin.Adawat al Hijab, Da ar Shafwat, (Mesir, Kairo: Da ar Shafwat,1991),hlm.456
Junus,  Mahmud.
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2004)
Mahmud al-Andalusi al-Baghdadi, Ruh al-Maanii, Beirut: Dar el Fikr
Maruzi,Muslich. Koleksi Hadits Sikap dan Pribadi Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1995)
Mujieb, M. Abdul Mujieb, dkk.  Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Qudamah,Ibnu.Al Mughniy, (Mesir, Kairo: Mathbaah Al Qahirah,1969)
Rohman,Dudung Abdul.Mengembangkan Etika Berumah Tangga Menjaga Moralitas Bangsa MenurutPandangan Al Quran, (Bandung: Nuansa Aulia, 2006)
Rusyd,Ibnu.Bidayatul Mujatahid (Aliansi Fiqih Para Mujtahid), Terjemahan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani,2002)
 Sabiq,  Sayyid. Fiqh Sunnah
Sudarsono, Kamus Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,1994),
Sulaiman, Abu Daud.Sunan Abi Daud, (Bandung: Dahlan, 1990).
Sunarto , Achmad dkk.Tarjamah Shahih Bukhari, (Semarang: As-Syifa, 1993).
Taimiyah Ibnu, Majmuah Al Fatawa, (Mesir, Kairo: Dar Al Wafa, 1998).
Yunus,Mahmud.Hukum Perkawinan dalam Islam,(Jakarta: Al Hidayah, 1964)

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM DAN KLASIFIKASI PERBANDINGAN HUKUM

dasar pemikiran tasawuf K.H. Ahmad Siddiq

HUKUM KELUARGA DI AFGHANISTAN