Ketentuan Hukum Tentang Kewarisan Dalam Hukum Perdata Islam Indonesia
A. Pengertian Hukum Waris dan Sumbernya
1. Pengertian Hukum Waris
Al-Miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Menurut bahasa lafadz waris (warisan) mempunyai beberapa pengertian pula, yaitu:
a. Menggantikan kedudukan; sebagaimana firman Allah dalam surat al-Naml ayat 16:
“Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".
b. Menganugerahkan; sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 74:
“Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang Telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan Telah (memberi) kepada kami tempat Ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal".
c. Mewarisi; sebagaimana firman Allah dalam surat Maryam ayat 6:
“Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai".
2. Sumber Hukum Waris
Dasar hukum kewarisan di Indonesia adalah Al-Qur’an, Hadis Rasulullah, Perundang-undangan, kompilasi Islam, Pendapat para sahabat Rasulullah, pendapat ahli hukum Islam melalui ijtihadnya.
1. Al-Qur’an
Al-Quran, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-kletentuan bagian tiap ahli waris, seperti yang tercantum dalam surat An-Nisa 7,11,12,179,dan surat surat lainnya;
Surat An-Nisa ayat 7 yaitu:
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan."
Al-Quran Surat An-Nisa ayat 7 mengandung beberapa garis hukum kewarisann Islam, yaitu (1) Bagi anak laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan harta ibu bapaknya; (2) Bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan; (3) bagi anak perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya; (4) Bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan; (5) Ahli waris yang disebutkan pada nomor 1 sampai dengan 4 di atas, ada yang mendapat harta warisan sedikit dan ada yang juga yang mendapat banyak; (6) Ketentuan pembagian harta warisan garis hukum nomor 1 sampai dengan 5 di atas, ditetapkan Allah.
Surat An-Nisa ayat 11 yaitu:
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Al-Quran surat An-Nisa ayat 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya; (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu 2:1; (2) Mengatur tentang perolehan dua orang perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat dua pertiga dari harta peninggalan; (3) Mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) Mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seperenam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perlahan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) Pelaksanaan pembagiaan harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 sudah dibayarkan wasiat dan utang pewaris.
2. Hadis
Ada banyak hadis yang berkaitan dengan kewarisan, diantanya :
a. Hadis Rasulullah dari dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Timidzi, dan Ibn Majah, Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang seorang seorang ank perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa: “untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua, datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula.” Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab:”saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan.”
b. Hadis Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain As-Nasa’i . “seorang nenek orang yang meninggal datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata: “dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadis Rasulullah. Pulanglah saja dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui.” Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan Berkata: “saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenenk orang yang meninggal sebanyak seperenam.” Abu Bakar bertanya:”Apakah ada yang lain mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Murigah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peningggalan cucunya.
c. Menyangkut cara pembagian warisan ini dapat ditemukan ketentuan hukumnya dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,"serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat." (hadis disepakati Imam Bukhari dan Muslim.
B. Asas-asas dan Unsur-unsur Kewarisan
I. Asas-asas pewarisan dalam hukum Islam
1. Bagian warisan laki-laki dengan perempuan adalah 2 berbanding 1.
2. pembagian harta peninggalan bersifat individual yaitu mengakui adanya hak milik perseorangan dan setiap ahli waris berhak atas suatu bagian yang tertentu.
3. pembagian harta peninggalan bersifat bilateral yaitu membagi warisan kepada dua pihak yaitu: laki-laki dan perempuan.
4. bagian masing-masing ahli waris selalu berubah sesuai dengan keberadaann ahli waris lainnya.
II. unsur-unsur hukum waris Islam
Unsur-unsur hukum kewarisan dalam pelaksanaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pewaris
pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya bergama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih waris.
2. Harta Waris
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran hutang serta wasiat pewaris.
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
C. Sebab-sebab saling mewarisi
Yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Hubungan kekerabatan biasa disebut juga hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seseorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapa pun karena anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang melahirkan. Sebaliknya bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungannya dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yangsah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula bagi si anak yang lahir dengan di ayah yang menyebabkan kelahiran.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Hal ini diketahui melalui hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahawa seorang anak dihubungkan kepada laki-laki yang secara sah menggaulinya. Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta beserta keturunannya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan hartanya. Singkatnya bahwa kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab dengan meraka merupakan kerabat. Allah SWT, berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu."
2. Karena hubungan perkawinan
Kalau hubungan perkawinan, kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila suami meninggal dan meninggalkan harta warisan atau janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya.
3. Karena wala'
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah mmerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Orang yang memerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.
Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga dengan istilah wala’ul itqi. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya hamba sahaya.
D. Penghalang Saling Mewarisi
Sebab-sebab hilangnya hak untuk mendapatkan harta warisan, ditemukan dua penyebab yang dapat menggugurkan hak tersebut, yaitu (1) perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris, dan (2) ahli waris membunuh pewaris. Seperti yang dalam uraian berikut.
1. perbedaan agama
Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, ATirmidzi, dan Ibnu Majah yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidan menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari hadis tersebut dapat diketahui bahawa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya menyangkut urusan keagamaan seperti kewarisan, tidak ada hubungan itu seperti disebutkan dalam asas-asas kewarisan Islam.
2. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseoang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi bahwa seorang yang membunuh pewarisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu. Dari hadis tersebut diketahui bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan bagi ahli waris.
E. Bagian Masing-masing Ahli Waris
1. Ahli waris yang mendapat bagian ½ ada 5 orang yaitu:
a. suami, bila istri meninggal tanpa meninggalkan anak atau keturunan.
b. anak perempuan sendirian
c. cucu perempuan dari anak laiki-laki (sendirian)
d. saudara perempuan sekandung, bila tidak ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, cucu dari anak laki-laki, saudara laki-laki dari bapak .
e. saudara sebapak sendirian yang menjadi ahli waris.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian ¼ ada dua orang yaitu:
a. Suami, jika istri meninggalkan anak atau keturunan
b. Istri atau istri-istri, bila suami tidak meninggalkan anak keturunan.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 ada satu orang, yaitu:
a. Istri atau istri-istri, jika suami meninggal dan meninggalkan anak atau meninggalkan keturunan.
4. Ahli waris yang mendapattkan bagian 1/3 ada dua orang, yaitu:
a. Ibu, bila mewarisi bersama seorang saudara atau dengan bapak saja.
b. Dua orang saudara seibu atau lebih bila pewaris tidak meninggalkan anak dan cucu kebawah dari anak laki-laki, ayah, atau kakek.
5. Ahli waris yang mendapattkan bagian 2/4 ada empat orang, yaitu
a. Dua orang anak perempuan atau lebih, bila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki.
b. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila tidak ada anak dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, bila ada saudara laki-laki, anak atau cucu, bapak atau kakek.
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki, bapak atau kakek.
6. Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 ada tujuh orang, yaitu:
a. Bapak menjadi ahli waris dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
b. Kakek mewarisi bersama anak atau cucu dari anak laki-laki
c. Ibu mewarisi bersama:
- Anak atau cucu dari anak laki-laki
- Dua orang saudara atau lebih
d. Nenek dari ibu atau nenek dari bapak dan tidak ada ibu atau bapak.
e. Seorang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki mewarisi bersama seseorang anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
f. Seorang saudara perempuan atau lebih sebapak mewarisi bersama seorang saudara perempuan sekadung untuk memenuhi 2/3 bagian.
e. Seorang saudara laki-laki perempuan seibu dan tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki, tidak ada bapak ada kakek.
F. Penyelesaian secara Aul dan Radd
1. Masalah Aul
a. Pengertian Aul
Pengertian aul menurut bahasa ada beberapa macam, di antaranya dalah cenderung kepada perbuatan aniaya dan menyimpang. Arti yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT.:“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adapun menurut ulama faradiyun, aul artinya bertambahnya jumlah bagian dzawil furud atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak menerima warisan, sehingga menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapatkan bagian. Untuk mengatasi hal tersebut, asal masalah terpaksa ditambah sehingga memungkinkan ahli waris yang belum memperoleh warisan akan mendapat bagian.
b. Cara penyelesaiannya Masalah Aul
Untuk penyelesaian masalah aul, dapat sitempuh beberapa jalan, yaitu sebagai berikut:
1. Cara penyelesaian yang pertama
Jalan yang dipilih oleh para ulama faraid adalah:
I. mencari asal masalahnya setelah mengetahui fard dari masing-masing ashabul furud
II. mencari saham-saham dari masing-masing ashabul furud
III. Menjumlah saham ashabul furud
IV. Asal masalah yang semula tidak dipakai lagi dan diganti dengan asal masalah baru, yaitu jumlah saham yang diterima oleh para ahli waris.
2. Cara penyelesaian kedua
Jumlah sisa kurang dari peninggalan yang terbagi ditanggung oleh ashabul furud dengan jalan mengurangi penerimaan masing-masing menurut perbandingan furud atau saham mereka masing-masing.
3. Cara penyelesaian ketiga
Jalan menurut ilmu hitung, yaitu dengan mengadakan perbandingan furud saham mereka satu sama lain kemudian menjumlahkan saham mereka dijumlah. Jumlah ini dipakai untuk membagikan harta pusaka untk mengetahui harga tiap-tiap bagian. Setelah harga tiap-tiap bagian diketahui, bagian mereka masing-masing.
2. Masalah Radd
a. Pengertian Radd
kata Radd menurut bahasa artinya i’adah, yaitu mengembalikan misalnya, dikatakan ردعليه حقه artinya اعاده اليه (dia mengembalikan hak kepadanya). Kata radd juga berarti صرف (memulangkan kembali).
Dalam Al-Quran banyak disebutkan kata Radd, misalnya:
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun.."
Dengan demikian, yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah pengembalian bagian yang tersisa dari dzawil furud nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.
b. Cara Menyelesaikan Masalah Radd
Sebelum menyelesaikan pembagian pusaka yang mengandung maslah radd, terlebih dahulu harus diperhatikan apakah dalam masalah tersebut terdapat ahli waris yang ditolak menerima radd atau tidak.
i. Jika di antara para ahli waris tidak terdapat seorang pun yang ditolak menerima radd, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan salah satu cara-cara sebagai berikut:
○ Pertama
1. mencari saham-saham para ahli waris ashabul furud lebih dahulu.
2. menjumlahkan saham-saham tersebut.
3. menjadikan jumlah saham tersebut sebagai asal masalah baru sebagai penganti asal masalah lama.
○ kedua
Setelah diambil bagian untuk memenuhi hak para ahli waris ashabah furud, kemudian sisanya yang masih ada diberikan kepada mereka sesuai dengan perbandingan saham masing-masing.
○ Ketiga
Membandingkan saham-saham mereka satu sama lain, kemudian menjumlahknan angka-angka perbandingan itu untuk dibagi dengan seluruh harta peninggalan sehingga diketahui nilai satuan perbandingan, serta dapat diketahui pula jumlah mereka masing-masing. Jika di antara para ahli waris terdapat seorang yang ditolak menerima radd, penyelesaianya dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut:
© Pertama
1. Di ambil masing-masing seluruh bagian ashabul furud menurut besar kecilnya fard Smereka.
2. Sisa lebihnya diberikan kepada mereka yang berhak saja, menurut perbandingan fard mereka masing-masing. Setelah itu penerimaan mereka dari kelebihan itu dijumlahkan dengan penerimaan mereka yang semula.
© Kedua
1. Di ambil bagian orang yang di tolak menerima radd lebih dahulu.
2. Sisanya diberikan kembali kepada para ashabul furud yang berhak menerima radd dengan sebagai berikut:
a. Menjumlahkan saham-saham mereka untuk dijadikan masalah baru dalam radd.
b. Mencari asal masalah baru berdasarkan fard-fard mereka kemudian menjadikannya salah satu yang baru lagi dalam radd.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Depag.
Ali, Zainuddin, 2007, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafiika, Cet.II.
Arief , Saifuddin, 2008, Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Jakarta:Darunnajah Publishing Cet. II.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, 2005, Ilmu WarisAl-Faraidl deskripsi berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, Surabaya: pustaka Hikmah Perdana.
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, 2007, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:Uin Jakarta Press, Cet.I.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, 2004, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Jakarta: Sinar Grafika, Cet.IV.
Umam, Dian Khairul, 2006, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II.
A. Pengertian Hukum Waris dan Sumbernya
1. Pengertian Hukum Waris
Al-Miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Menurut bahasa lafadz waris (warisan) mempunyai beberapa pengertian pula, yaitu:
a. Menggantikan kedudukan; sebagaimana firman Allah dalam surat al-Naml ayat 16:
“Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".
b. Menganugerahkan; sebagaimana firman Allah dalam surat az-Zumar ayat 74:
“Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang Telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan Telah (memberi) kepada kami tempat Ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal".
c. Mewarisi; sebagaimana firman Allah dalam surat Maryam ayat 6:
“Yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai".
2. Sumber Hukum Waris
Dasar hukum kewarisan di Indonesia adalah Al-Qur’an, Hadis Rasulullah, Perundang-undangan, kompilasi Islam, Pendapat para sahabat Rasulullah, pendapat ahli hukum Islam melalui ijtihadnya.
1. Al-Qur’an
Al-Quran, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-kletentuan bagian tiap ahli waris, seperti yang tercantum dalam surat An-Nisa 7,11,12,179,dan surat surat lainnya;
Surat An-Nisa ayat 7 yaitu:
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan."
Al-Quran Surat An-Nisa ayat 7 mengandung beberapa garis hukum kewarisann Islam, yaitu (1) Bagi anak laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan harta ibu bapaknya; (2) Bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan; (3) bagi anak perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya; (4) Bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan; (5) Ahli waris yang disebutkan pada nomor 1 sampai dengan 4 di atas, ada yang mendapat harta warisan sedikit dan ada yang juga yang mendapat banyak; (6) Ketentuan pembagian harta warisan garis hukum nomor 1 sampai dengan 5 di atas, ditetapkan Allah.
Surat An-Nisa ayat 11 yaitu:
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Al-Quran surat An-Nisa ayat 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya; (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu 2:1; (2) Mengatur tentang perolehan dua orang perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat dua pertiga dari harta peninggalan; (3) Mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) Mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seperenam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perlahan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) Mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) Pelaksanaan pembagiaan harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 sudah dibayarkan wasiat dan utang pewaris.
2. Hadis
Ada banyak hadis yang berkaitan dengan kewarisan, diantanya :
a. Hadis Rasulullah dari dari Huzail bin Syurahbil yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, At-Timidzi, dan Ibn Majah, Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang seorang seorang ank perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Abu Musa: “untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua, datanglah kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula.” Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan ia menjawab:”saya menetapkan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu seperenam, dan selebihnya adalah untuk saudara perempuan.”
b. Hadis Rasulullah dari Qabisah bin Syu’aib yang diriwayatkan oleh perawi yang lima selain As-Nasa’i . “seorang nenek orang yang meninggal datang kepada Abu Bakar meminta hak kewarisan dari cucunya (yang meninggal itu). Abu Bakar berkata: “dalam kitab Allah tidak disebutkan sesuatu untukmu dan juga tidak ada dalam hadis Rasulullah. Pulanglah saja dulu, nanti saya tanyakan kepada orang lain kalau ada yang mengetahui.” Kemudian Abu Bakar menanyakan kepada para sahabat mengenai hal tersebut. Mugirah menjawab pertanyaan Abu Bakar dan Berkata: “saya pernah melihat pada saat Rasulullah memberikan hak kewarisan untuk nenenk orang yang meninggal sebanyak seperenam.” Abu Bakar bertanya:”Apakah ada yang lain mengetahui selain kamu?” Muhammad bin Maslamah tampil dan mengatakan seperti yang dikatakan oleh Murigah. Kemudian Abu Bakar memberikan seperenam kepada nenek harta peningggalan cucunya.
c. Menyangkut cara pembagian warisan ini dapat ditemukan ketentuan hukumnya dalam sebuah hadis dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda,"serahkanlah pembagian warisan itu kepada ahlinya, bila ada yang tersiksa, maka berikanlah kepada keluarga laki-laki terdekat." (hadis disepakati Imam Bukhari dan Muslim.
B. Asas-asas dan Unsur-unsur Kewarisan
I. Asas-asas pewarisan dalam hukum Islam
1. Bagian warisan laki-laki dengan perempuan adalah 2 berbanding 1.
2. pembagian harta peninggalan bersifat individual yaitu mengakui adanya hak milik perseorangan dan setiap ahli waris berhak atas suatu bagian yang tertentu.
3. pembagian harta peninggalan bersifat bilateral yaitu membagi warisan kepada dua pihak yaitu: laki-laki dan perempuan.
4. bagian masing-masing ahli waris selalu berubah sesuai dengan keberadaann ahli waris lainnya.
II. unsur-unsur hukum waris Islam
Unsur-unsur hukum kewarisan dalam pelaksanaan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Pewaris
pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya bergama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih waris.
2. Harta Waris
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran hutang serta wasiat pewaris.
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
C. Sebab-sebab saling mewarisi
Yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1. Hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Hubungan kekerabatan biasa disebut juga hubungan nasab ditentukan oleh adanya hubungan darah dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya kelahiran. Jika seseorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat diingkari oleh siapa pun karena anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang melahirkan. Sebaliknya bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungannya dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yangsah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula bagi si anak yang lahir dengan di ayah yang menyebabkan kelahiran.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Hal ini diketahui melalui hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahawa seorang anak dihubungkan kepada laki-laki yang secara sah menggaulinya. Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta beserta keturunannya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan hartanya. Singkatnya bahwa kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab dengan meraka merupakan kerabat. Allah SWT, berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 75 yang berbunyi:
"Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu."
2. Karena hubungan perkawinan
Kalau hubungan perkawinan, kaitannya dengan hukum kewarisan Islam, berarti hubungan perkawinan yang sah menurut hukum Islam. Apabila suami meninggal dan meninggalkan harta warisan atau janda, maka janda itu termasuk ahli warisnya. Demikian pula sebaliknya.
3. Karena wala'
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah mmerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Orang yang memerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.
Wala’ yang dapat dikategorikan sebagai kerabat secara hukum, disebut juga dengan istilah wala’ul itqi. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari statusnya hamba sahaya.
D. Penghalang Saling Mewarisi
Sebab-sebab hilangnya hak untuk mendapatkan harta warisan, ditemukan dua penyebab yang dapat menggugurkan hak tersebut, yaitu (1) perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris, dan (2) ahli waris membunuh pewaris. Seperti yang dalam uraian berikut.
1. perbedaan agama
Perbedaan agama merupakan penyebab hilangnya hak kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, ATirmidzi, dan Ibnu Majah yang telah disebutkan bahwa seorang muslim tidan menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari hadis tersebut dapat diketahui bahawa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya menyangkut urusan keagamaan seperti kewarisan, tidak ada hubungan itu seperti disebutkan dalam asas-asas kewarisan Islam.
2. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseoang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi bahwa seorang yang membunuh pewarisnya tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya itu. Dari hadis tersebut diketahui bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan bagi ahli waris.
E. Bagian Masing-masing Ahli Waris
1. Ahli waris yang mendapat bagian ½ ada 5 orang yaitu:
a. suami, bila istri meninggal tanpa meninggalkan anak atau keturunan.
b. anak perempuan sendirian
c. cucu perempuan dari anak laiki-laki (sendirian)
d. saudara perempuan sekandung, bila tidak ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, cucu dari anak laki-laki, saudara laki-laki dari bapak .
e. saudara sebapak sendirian yang menjadi ahli waris.
2. Ahli waris yang mendapatkan bagian ¼ ada dua orang yaitu:
a. Suami, jika istri meninggalkan anak atau keturunan
b. Istri atau istri-istri, bila suami tidak meninggalkan anak keturunan.
3. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/8 ada satu orang, yaitu:
a. Istri atau istri-istri, jika suami meninggal dan meninggalkan anak atau meninggalkan keturunan.
4. Ahli waris yang mendapattkan bagian 1/3 ada dua orang, yaitu:
a. Ibu, bila mewarisi bersama seorang saudara atau dengan bapak saja.
b. Dua orang saudara seibu atau lebih bila pewaris tidak meninggalkan anak dan cucu kebawah dari anak laki-laki, ayah, atau kakek.
5. Ahli waris yang mendapattkan bagian 2/4 ada empat orang, yaitu
a. Dua orang anak perempuan atau lebih, bila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki.
b. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, bila tidak ada anak dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, bila ada saudara laki-laki, anak atau cucu, bapak atau kakek.
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki, bapak atau kakek.
6. Ahli waris yang mendapat bagian 1/6 ada tujuh orang, yaitu:
a. Bapak menjadi ahli waris dengan anak atau cucu dari anak laki-laki
b. Kakek mewarisi bersama anak atau cucu dari anak laki-laki
c. Ibu mewarisi bersama:
- Anak atau cucu dari anak laki-laki
- Dua orang saudara atau lebih
d. Nenek dari ibu atau nenek dari bapak dan tidak ada ibu atau bapak.
e. Seorang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki mewarisi bersama seseorang anak perempuan dan tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki.
f. Seorang saudara perempuan atau lebih sebapak mewarisi bersama seorang saudara perempuan sekadung untuk memenuhi 2/3 bagian.
e. Seorang saudara laki-laki perempuan seibu dan tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki, tidak ada bapak ada kakek.
F. Penyelesaian secara Aul dan Radd
1. Masalah Aul
a. Pengertian Aul
Pengertian aul menurut bahasa ada beberapa macam, di antaranya dalah cenderung kepada perbuatan aniaya dan menyimpang. Arti yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT.:“Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Adapun menurut ulama faradiyun, aul artinya bertambahnya jumlah bagian dzawil furud atau berkurangnya kadar penerimaan warisan mereka. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat banyak ahli waris yang berhak menerima warisan, sehingga menghabiskan harta warisan, tetapi masih ada ahli waris lainnya yang belum mendapatkan bagian. Untuk mengatasi hal tersebut, asal masalah terpaksa ditambah sehingga memungkinkan ahli waris yang belum memperoleh warisan akan mendapat bagian.
b. Cara penyelesaiannya Masalah Aul
Untuk penyelesaian masalah aul, dapat sitempuh beberapa jalan, yaitu sebagai berikut:
1. Cara penyelesaian yang pertama
Jalan yang dipilih oleh para ulama faraid adalah:
I. mencari asal masalahnya setelah mengetahui fard dari masing-masing ashabul furud
II. mencari saham-saham dari masing-masing ashabul furud
III. Menjumlah saham ashabul furud
IV. Asal masalah yang semula tidak dipakai lagi dan diganti dengan asal masalah baru, yaitu jumlah saham yang diterima oleh para ahli waris.
2. Cara penyelesaian kedua
Jumlah sisa kurang dari peninggalan yang terbagi ditanggung oleh ashabul furud dengan jalan mengurangi penerimaan masing-masing menurut perbandingan furud atau saham mereka masing-masing.
3. Cara penyelesaian ketiga
Jalan menurut ilmu hitung, yaitu dengan mengadakan perbandingan furud saham mereka satu sama lain kemudian menjumlahkan saham mereka dijumlah. Jumlah ini dipakai untuk membagikan harta pusaka untk mengetahui harga tiap-tiap bagian. Setelah harga tiap-tiap bagian diketahui, bagian mereka masing-masing.
2. Masalah Radd
a. Pengertian Radd
kata Radd menurut bahasa artinya i’adah, yaitu mengembalikan misalnya, dikatakan ردعليه حقه artinya اعاده اليه (dia mengembalikan hak kepadanya). Kata radd juga berarti صرف (memulangkan kembali).
Dalam Al-Quran banyak disebutkan kata Radd, misalnya:
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun.."
Dengan demikian, yang dimaksud dengan radd menurut ulama faradiyun adalah pengembalian bagian yang tersisa dari dzawil furud nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.
b. Cara Menyelesaikan Masalah Radd
Sebelum menyelesaikan pembagian pusaka yang mengandung maslah radd, terlebih dahulu harus diperhatikan apakah dalam masalah tersebut terdapat ahli waris yang ditolak menerima radd atau tidak.
i. Jika di antara para ahli waris tidak terdapat seorang pun yang ditolak menerima radd, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan salah satu cara-cara sebagai berikut:
○ Pertama
1. mencari saham-saham para ahli waris ashabul furud lebih dahulu.
2. menjumlahkan saham-saham tersebut.
3. menjadikan jumlah saham tersebut sebagai asal masalah baru sebagai penganti asal masalah lama.
○ kedua
Setelah diambil bagian untuk memenuhi hak para ahli waris ashabah furud, kemudian sisanya yang masih ada diberikan kepada mereka sesuai dengan perbandingan saham masing-masing.
○ Ketiga
Membandingkan saham-saham mereka satu sama lain, kemudian menjumlahknan angka-angka perbandingan itu untuk dibagi dengan seluruh harta peninggalan sehingga diketahui nilai satuan perbandingan, serta dapat diketahui pula jumlah mereka masing-masing. Jika di antara para ahli waris terdapat seorang yang ditolak menerima radd, penyelesaianya dapat dilakukan dengan salah satu cara berikut:
© Pertama
1. Di ambil masing-masing seluruh bagian ashabul furud menurut besar kecilnya fard Smereka.
2. Sisa lebihnya diberikan kepada mereka yang berhak saja, menurut perbandingan fard mereka masing-masing. Setelah itu penerimaan mereka dari kelebihan itu dijumlahkan dengan penerimaan mereka yang semula.
© Kedua
1. Di ambil bagian orang yang di tolak menerima radd lebih dahulu.
2. Sisanya diberikan kembali kepada para ashabul furud yang berhak menerima radd dengan sebagai berikut:
a. Menjumlahkan saham-saham mereka untuk dijadikan masalah baru dalam radd.
b. Mencari asal masalah baru berdasarkan fard-fard mereka kemudian menjadikannya salah satu yang baru lagi dalam radd.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, Depag.
Ali, Zainuddin, 2007, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafiika, Cet.II.
Arief , Saifuddin, 2008, Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, Jakarta:Darunnajah Publishing Cet. II.
Abta, Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, 2005, Ilmu WarisAl-Faraidl deskripsi berdasarkan Hukum Islam Praktis dan Terapan, Surabaya: pustaka Hikmah Perdana.
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, 2007, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta:Uin Jakarta Press, Cet.I.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, 2004, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Jakarta: Sinar Grafika, Cet.IV.
Umam, Dian Khairul, 2006, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II.
Comments