CERAI TALAK: ANALISIS YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG PERKARA NOMOR: 629K/AG/2015

CERAI TALAK: ANALISIS YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG PERKARA NOMOR: 629K/AG/2015

Abstrak: Cerai Talak dan Rekonvensi Akibat Cerai Talak (Analisis Yurisprudensi Mahkamah Agung Perkara Nomor: 629K/AG/2015). Fokus kajian ini adalah tentang bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus serta materi persidangan dilihat dari hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia serta bagaimana teori hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara tersebut dari tingkat pertama yaitu di Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung. Dalam kajian ini juga penulis menemukan putusan hakim memperbaiki putusan Pengadilan Agama di bawahnya yaitu Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara Nomor:16/Pdt.G/2015/PTA JK memperbaiki putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT dan juga Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara: 629K/AG/2015 juga memperbaiki isi putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara Nomor:16/Pdt.G/2015/PTA JK.








PENDAHULUAN
Talak diakui dalam ajaran Islam sebagai satu jalan keluar terakhir dari kemelut keluarga, di mana bila hal itu tidak dilakukan, maka sebuah rumah tangga menjadi seolah-olah neraka bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya. Dan hal ini seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan disyariatkannya pernikahan. Talak baru diperbolehkan bilamana tidak ada jalan lain, dan oleh karena sangat besar dampak negatifnya, maka cara yang paling ideal dalam memecahkan kemelut ruamh tangga adalah dengan jalan msuawarah dan saling mengalah.
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Peraturan PemerintahNo. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975). Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian,perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.
Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHIyang berbunyi: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami. Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI). Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yangberbunyi:“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Persoalan putusnya perkawinan atau perceraian serta akibat hukumnya, di atur dalam Pasal 38 sampai 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, tata cera perceraian diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975.
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut ketentuan Hukum Islam dan akan menceraikan isterinya dapat mengajukan permohonan cerai talak kepada Pengadilan agama hal ini sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1989  tentang Peradilan Agama Jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Jo. Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama serta juga terdapat dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Tahun 1975.
Dalam pasal 41 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 116 komplikasi hukum Islam disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut: Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan, Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,  Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,  Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri, antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,  Suami melanggar Talik Talak dan Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Bahwa, putusnya perkawinan karena suami mentalak istrinya mempunyai beberapa akibat Hukum berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: Memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang maupun benda, Memberi nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama dalam masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain dan dalam keadaan tidak hamil, Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla al dukhul, Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam bersumber dari Surat Al-Baqarah ayat 235 dan 236.
Dalam kaitannya dengan akibat hukum selain nafkah iddah dan mutah juga akibat hukum yang lain ketika terjadinya perceraian yaitu hak asuh anak. Hal ini tentang hak asuh anak, Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan: Dalam hal terjadi perceraian: a)  pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b)  pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan. Dan c) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya..
Dalam kasus yurisprudensi Nomor Perkara: 429K/AG/2015 Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor Perkara: 16/Pdt.G/2015/PTA JK Jo. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor Perkara: 1082/Pdt.G/2013/PAJT membahas seorang laki-laki yang mengajukan Cerai Talak selanjutnya isterinya dalam jawabannya mengajukan gugat balik atas permohonan cerai talak tersebut. Kajian ini dibuat untuk dianalisis mengenai perceraian, nafkah iddah, mutah, hak asuh anak serta nafkah anak berdasarkan hukum Islam serta hukum positif yang berlaku di Indonesia serta juga untuk mengetahui teori-teori hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara tersebut.

PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini difokuskan pada permasalahan: pertama, Apakah yang dimaksud dengan Kaidah Hukum? Kedua, dalam Yurisprudensi terdapat kaidah Hukum? Ketiga, Apa sajakah kaidah-kaidah hukum yurisprudensi Mahkamah Agung dalam bidang Perdata Agama?
METODE PENULISAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang menggunakan bahan hukum primer. Teknik pengumpulan data menggunakan studi pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif.

DUDUK PERKARA
Pemohon (Hermansyah, SE bin Sadar) umur 45 Tahun, bertempat tinggal di Perum Griya Samudra Sejahtera Blok E No. 7 Rt. 02/08 Kelurahan Segara Raya, Kecamatan Tarumajaya, Kota Bekasi, adalah suami sah dari Termohon (Bertha Morisca Bakar, SE binti A. Bakar), umur 44 tahun, bertempat tinggal di Jl. Tutul VI No. 429, Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Pondok Bambu, Kotamadya Jakarta Timur yang menikah pada tanggal tanggal 8 September 1996. Selama pernikahan selama 15 tahun kehidupan rumah tangga suami-istri ini cukup harmonis dan telah dikaruniai 3 orang anak. Namun setelah itu kehidupan rumah tangganya sering dilanda pertengkaran dan percekcokan yang disebabkan  karena adanya ketidakcocokan dan perbedaaan persepsi antara Pemohon dan Termohon dalam membangun rumah tangga, adanya komunikasi yang kurang baik antara Pemohon dan Termohon, Termohon memutuskan silaturrahmi dengan keluar dari pihak Pemohon, Termohon tidak bisa mengolah keuangan keluarga, Termohon tidak melayani Pemohonn seperti menyediakan makan, menyiapkan baju bersih dan sebagainya, termohon sering keluar rumah tanpa izin dengan tanpa sepengetahuan Pemohon, Termohon sering mengucapkan kata-kata kasar kepada Pemohon, Termohonsering melarang Pemohon berhubungan dengan keluarga Pemohon, Termohon selalu menolak berhubungan suami isteri dengan Pemohon. Pertengkaran dan percekcokan suami isteri ini akhirnya sampai ke pengadilan di mana suami mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama Jakarta Timur dan telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur Register Nomor Perkara 1082/Pdt.G/2013/PAJT.
Berdasarkan adanya Permohonan Pemohon, maka Termohon dalam proses persidangan, maka Termohon mengajukan jawaban dengan disertai dengan gugatan Rekonpensi. Maka dengan adanya gugatan rekonpensi tersebut Pemohon dalam pokok perkara disebut sebagai Pemohon Konvensi dan dalam perkara Rekonvensi disebut Tergugat Rekonpensi. Sedangkan Termohon dalam pokok perkara (konpensi) disebut sebagai Termohon Konpensi dan dalam perkara Rekonpensi (gugat balik) disebut sebagai Tergugat Rekonpensi. Inti Rekonvensi yang diajukan oleh Termohon Konvensi/Penggugat Rekonvensi adalah agar majelis hakim menghukum Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi untuk membayar cicilan rumah di Perum Bintara Regency No. 9 Jaka Sampurna Bekasi tiap bulannya serta menghukum Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi membayar biaya sekolah kedua anaknya setiap bulannya sebesar Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah) yang harus dibayarkan setiap tanggal 10 di awal bulan.
Setelah melalui proses peradilan, maka Pengadilan Agama Jakarta Memutus perkara Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT pada tanggal 01 September 2014 yang inti isinya dalam Konpensi Majelis Hakim menyatakan mengabulkan Permohonan cerai talak Pemohon dengan memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu rajI terhadap Termohon di depan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur serta menghukum Pemohon untuk memberikan:  Nafkah Iddah sejumlah Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan Mutah berupa uang sejumlah Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) kepada Pemohon. Selanjutnya Majelis Hakim dalam Rekonpensi memberikan putusan yang intinya adalah  Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk memberikan nafkah anak sebesar Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah) setiap bulan diluar biaya pendidikan, kesehatan dan sandang.
Termohon Konpensi/Penggugat Rekonpensi merasa tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur tersebut, kemudian Termohon Konpensi/Penggugat Rekonpensi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Jakarta pada tanggal 24 Oktober 2014. Pengadilan Tinggi Agama melalui putusannya Nomor: 16/Pdt.G/2015/PTA JK. tanggal 25 Februari 2015, memutuskan:
permohonan banding yang diajukan oleh Termohon/ Pembanding dapat diterima;
Menguatkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/ Pdt.G/2013/PA JT, tanggal 01 September 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 02 Dzulqadah 1435 Hijriah dengan tambahan dan perbaikan amar sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi Termohon;
Dalam Konvensi
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Memberi izin kepada Pemohon (Hermansyah, SE bin Sadar) untuk menjatuhkan talak satu raji terhadap Termohon (Bertha Morisca Bakar, SE binti Abu Bakar) di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur;
Menghukum Pemohon untuk memberikan Mutah berupa uang sejumlah Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan  Nafkah Iddah sejumlah Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) kepada Pemohon yang harus dibayar secara tunai sesaat setelah ikrar talak dijatuhkan;
Dalam Rekonvensi
Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian;
Menunjuk Penggugat Rekonvensi selaku ibu kandung sebagai penanggung jawab pemeliharaan atas ketiga orang anak yang bernama Haslan Bertdian Ilham, laki-laki, lahir tanggal 17 Juni 1997, Hashemi Bertsanda Herman, perempuan, lahir tanggal 10 Juli 2001, dan Hazairien Syahputra Morisca, laki-laki, lahir tanggal 27 Oktober 2002, hingga masing-masing anak tersebut berumur 21 tahun atau masing-masing anak a quo memilih untuk diasuh atau dipelihara oleh Tergugat Rekonvensi selaku ayah kandungnya;
Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepada Penggugat Rekonvensi berupa nafkah ketiga orang anak tersebut dalam point 2 (dua) minimal sejumlah Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) setiap bulan dengan kenaikan 20 % (dua puluh persen) pertahunnya hingga masing-masing ketiga orang anak a quo berumur 21 tahun atau mandiri di luar biaya pendidikan, kesehatan dan sandangnya. Dan menyatakan gaji Tergugat Rekonvensi sebagai karyawan PT. PI II atau semua hartanya baik yang ada atau yang akan ada sebagai jaminan atas kelalaian pembayaran nafkah ketiga orang anak a quo kepada Penggugat Rekonvensi;
Menyatakan menolak dan tidak dapat menerima gugatan selain dan selebihnya;
Dalam Konvensi Dan Rekonvensi
Membebankan kepada Termohon/Pembanding untuk membayar biaya perkara ini dalam tingkat banding.
Merasa tidak puas Pembanding/Termohon Konvesi/Penggugat Rekonpensi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung pada tanggal 1 April 2015, dan Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor: 629K/AG/2015 serta tanggal 28 September 2015, memutuskan:
Menolak Permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: Bertha Morsca Bakar SE binti a. Bakar tersebut;
Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor 16/Pdt.G/2015/PTA JK tanggal 25 Februari 2015 bertepatan dengan 6 Jumadilawal 1436 H. yang memperbaiki Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/Pdt.G/2013/PAJT tanggal 1 September 2014 bertepatan dengan tanggal 2 Zulkaidah 1435H. sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Menyatakan, permohonan bandingPembanding dapat diterima;
Memperbaiki Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 1082/ Pdt.G/2013/PA JT, tanggal 01 September 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 02 Dzulqadah 1435 Hijriah dengan tambahan dan perbaikan amar sehingga berbunyi sebagai berikut:
Dalam Eksepsi
Menolak eksepsi Termohon;
Dalam Konvensi
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Memberi izin kepada Pemohon (Hermansyah, SE bin Sadar) untuk menjatuhkan talak satu raji terhadap Termohon (Bertha Morisca Bakar, SE binti Abu Bakar) di hadapan sidang Pengadilan Agama Jakarta Timur;
Menghukum Pemohon untuk memberikan Mutah berupa uang sejumlah Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan  Nafkah Maskan dan Kiswah selama iddah sejumlah Rp 9.000.000,- (Sembilan juta ratus rupiah) kepada Termohon;
Dalam Rekonvensi
Mengabulkan gugatan Penggugat Rekonvensi sebagian;
Menghukum Tergugat Untuk memberikan nafkah kepada ketiga orang anaknya masing-masing bernama: Haslan Bertdian Ilham, laki-laki, lahir tanggal 17 Juni 1997, Hashemi Bertsanda Herman, perempuan, lahir tanggal 10 Juli 2001, dan Hazairien Syahputra Morisca, laki-laki, lahir tanggal 27 Oktober 2002 sejumlah Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) setiap bulannya melalu Penggugat dengan kenaikan 20 % pertahun sampai  dengan ketiga anak tersebut dewasa (berumur 21 tahun) diluar biaya pendidikan dan kesehatan;
Menyatakan gugatan Penggugat agar Tergugat membayar membayar perkara cicilan rumah di Perum Bintara Regency Nomor 9 Jaka sampurna, Bekasi, tidak dapat diterima;
menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Dalam Konvensi Dan Rekonvensi
Membebankan kepada Pemohon Kasasi/Termohon untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi;

PERCERAIAN
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta sebab akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-istri itu perkawinannya putus. Kemudian tidak kalah urgensinya adalah alasan-alasan yang mendasari putusnya perkawinan itu serta sebab-sebab apa terjadi perceraian.
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam  Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/1975). Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan. Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan perbedaan cerai gugat dan cerai talak yang dimaksud dalam KHI satu persatu. Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri.

GUGAT CERAI
Gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHIyang berbunyi: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami. Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] Kompilasi Hukum Islam). Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu.
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;, Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);, Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri. Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.
Khulu adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits shahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.
[Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat Baihaqi  dalam Sunan al-Kubro no. 15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj no. 5275;  Teks asal dari Sahih Bukhari sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. [Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. [Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama].
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga. []Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975.

CERAI TALAK
Dalam syariah cerai atau talak adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, اسم لحل قيد النكاح) atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.
Dalil dasar hukum perceraian talak adalah QS Al-Baqarah 2:229:
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

- QS At-Talaq 65 ayat1:
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا*
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.(Qs. At-Talaq:ayat 1)

- QS At-Talaq 65:2
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا*
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.(QS. At-Talaq : ayat 2)

QS At-Talaq 65:3
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا*
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.( Qs. At-Talaq: ayat 3)

QS At-Talaq 65:4
وَاللاَّئِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللاَّئِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا*
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Qs. At-Talaq: ayat 4)

QS At-Talaq 65:5
ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا*
Artinya: Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya. (Qs. At-Talaq: ayat 5)

QS At-Talaq 65:7
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى*
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.( Qs. At-Talaq: ayat 6).

- QS At-Talaq 65:7
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.( Qs. At-Talaq: ayat 7)

Cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yangberbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama.
Mengacu pada UU Perkawinan, PP 9/1975, dan KHI bahwa seorang suami Muslim yang telah menikah secara Islam dan berniat menceraikan istrinya, terlebih dahulu mengajukan surat pemberitahuan tentang maksud menceraikan istrinya diikuti dengan alasan-alasan. Surat pemberitahuan tersebut disampaikan ke Pengadilan Agama, tempat ia berdomisili. Dengan demikian, sang suami meminta diadakan sidang oleh Pengadilan Agama untuk maksud tersebut.
Pengadilan Agama akan mempelajari isi surat pemberitahuan tersebut dan dalam selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari akan memanggil penggugat beserta istrinya guna meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.
Hukum Negara Indonesia hanya mengakui talak yang diucapkan suami di depan Pengadilan Agama. Adapun talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama hanya sah menurut hukum agama. Di dalam artikel berjudul Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan. Cerai talak yang dilakukan suami di luar Pengadilan Agama menyebabkan ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum sebagaimana diatur oleh Negara.
Selain perceraian pasangan Muslim hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan Agama, Pasal 115 KHI juga menyebutkan bahwa perceraian dapat dilakukan setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tentang hal ini dilakukan melalui mediasi oleh mediator yang ditunjuk Pengadilan Agama.
Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayai tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami. Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2) KHI).

NAFKAH IDDAH
Menurut kesepakatan fuqaha, perempuan yang sedang menjalani iddah raji berhak menerima nafkah dari suaminya sama dengan nafkah sebelum terjadi perceraian, baik perempuan itu hamil atau tidak. Selain menerima nafkah, dalam iddah talak raji juga berhak menerima tempat tinggal.  Sebagaimana sabda rasulullah SAW yang artinya:  “Diceritakan dari Fatimah binti Qais katanya: saya datang kepada Nabi SAW lantas saya berkata: Sesungguhnya suamiku si fulan telah mengutus seseorang untuk mentalaqku, dan sesunggunya saya meminta kapada keluarganya nafkah dan tempat tinggal lantas merekah tidak mau. Mereka [keluarganya] berkata: Wahai Rasulullah bahwa sesungguhnya utusan yang dikirim kepadanya telah melakukan talaq tiga. Fatimah berkata: Maka Rasulullah SAW bersabda: Sesunggunya nafkah dan tempat tinggal itu diperuntukan untuk bagi perempuan [istri] bila mana suami masih bisa kembali [rujuk] kepadanya. [H.R Imam Ahmat dan Nasai]. Didalam sebuah riwayat disebutkan: Sesunggunya nafkah dan tempat tinggal itu diperuntukan bagi perempuan yang diwajibkan atas suami bilamana suami masih bisa rujuk kepadanya, maka apabila suami sudah tidak bisa rujuk kepadanya, maka tidak ada nafkah dan tidak ada tempet tinggal.[H.R Ahmat]. Dalam hadis ini disebutkan bahwa perempuan berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hanyalah perempuan yang berada talaq iddah raji. Hal ini disebabkan perempuan dalam iddah talak raji masih berstatus sebagai istri.
Hak istri dalam iddah thalaq bain Mengenai hak istri dalam masa iddah thalaq tiga, ada beberapa pendapat di kalangan fukaha, pendapat ini terdiri dari tiga, yaitu:
Pendapat pertama menyatakan bahwa istri yang berada dalam masa iddah talaq bain mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal sama dengan istri yang dithalaq raji. Hal ini disebabkan karena ia wajib menghabiskan masa iddah di rumah suaminya. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah Pendapat kedua menyebutkan bahwa bekas istri tersebut tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini di kemukakan oleh Ahmad bin Hanbal. Landasannya yakni hadist Nabi SAW yang artinya:  Dari Syabi dari Fatimah binti Qais r.a dari Nabi SAW tentang perempuan yang dithalaq tiga. Dia tidak mempunyai hak rumah dan nafkah. (Hadis riwayat Muslim). Hadist ini menceritakan tentang Fatimah binti Qais yang diceraikan oleh suaminya dengan thalaq tiga, lalu ia menemui Nabi SAW untuk menanyakan apa yang menjadi haknya selama menjalani masa iddah, lalu Nabi SAW menjawab bahwa ia tidak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suami yang menthalaqnya.
Sedangkan menurut pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Syafii, istri tersebut berhak mendapatkan tempat tinggal tetapi tidak mendapatkan nafkah kecuali ia Hamil. Mereka mengajukan alasan bahwa Aisyah dan Ibnu Musayyab menolak hadist Fatimah binti Qais di atas.
Istri yang berada dalam masa iddah menjadi tanggung jawab suaminya, baik mengenai nafkah maupun tempat tinggal. Hak yang diterima oleh istri yang sedang menjalani masa iddah ini wajib dipenuhi oleh suaminya setelah terjadinya perceraian sampai habis masa iddah. Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 juga menyebutkan dalam pasal 41 poin c dimana pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.


MUTAH
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa perempuan yang dicerai berhak mendapatkan mutah apabila perceraian itu lahir dari inisatif pihak lelaki. Artinya, jika perceraian itu muncul inisiatif dari pihak perempuan, seperti dalam kasus faskh (cerai gugat) dimana pihak perempuan menggugat cerai suaminya dengan alasan suami tidak mampu menafkahinya atau menghilang. Atau disebabkan oleh pihak perempuan itu sendiri, seperti suami meminta cerai disebabkan oleh adanya aib pada isterinya, seperti isteri terkena penyakit kusta atau lepra. Maka dalam hal ini ia tidak berhak mendapatkan mut’ah.
وَكُلُّ فُرْقَةٍ مِنْهَا أَوْ بِسَبَبٍ لَهَا فِيهَا لَا مُتْعَةَ فِيهَا كَفَسْخِهَا بِإِعْسَارِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ أَوْ فَسْخِهِ بِعَيْبِهَا
“Setiap perceraian yang terjadi karena inisiatif dari pihak perempuan atau disebabkan oleh pihak perempuan maka tidak ada mutah, seperti pihak perempuan menggugat cerai suaminya karena si suami tidak mampu mencukupi nafkahnya atau menghilang, atau pihak lelaki mengajukan tuntutan cerai karena adanya aibpada isterinya (Taqiyuddin Muhamman Abu Bakar al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Damaskus-Dar al-Khair, 1999 M, juz, 1, h. 373).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Muhyiddin Syarf Nawawi dalam kitab Raudlah ath-Thalibin-nya bahwa jika seorang laki-laki menceraikan isterinya dan belum sempat disetubuhi (dukhul) maka harus dilihat terlebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa perempuan yang dicerai sebelum disetubuhi maka ia hanya berhak mendapatkan separo dari maharnya. Maka apabila separo maharnya sudah diberikan, maka ia tidak wajib memberikan mutah kepada mantan isterinya. Namun jika separo maharnya belum diberikan, maka ia wajib memberikan mutah menurut pendapat yang masyhur di kalangan madzhab syafii. Sedangkan jika sudah disetubuhi, maka menurut qaul jadid yang al-azhhar, ia (perempuan yang diceraikannya) berhak mendapatkan mut’ah.
 وَفُرْقَةٌ تَحْصُلُ فِي الْحَيَاةِ كَالطَّلَاقِ فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الدُّخُولِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَشْطُرْ الْمَهْرَ فَلَهَا الْمُتْعَةُ وَإِلَّا فَلَا عَلَى الْمَشْهُورِ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ فَلَهَا الْمُتْعَةُ عَلَى الْجَدِيدِ الْأَظْهَرِ
“(yang kedua) adalah perpisahan yang terjadi semasa hidup sebagaimana talak atau perceraian. Jika talak itu terjadi sebelum dukhul (disetubuhi) maka harus dilihat. Apabila pihak lelaki belum memberikan maharnya yang separo maka ia (perempuan yang dicerai) berhak mendapatkan mutah, namun jika maharnya yang separo sudah diberikan maka tidak ada mutah baginya sebagaimana pendapat yang masyhur di kalangan madzhab syafii. Sedangkan jika perceraian itu terjadi setelah dukhul maka ia berhak menerima mutah sebagaimana qaul jadid yang azhhar.

HAK ASUH ANAK
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syariat.
Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي.
“Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku”.
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
“Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.
Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan merebut hak asuhnya.
Keadilan hukum terhadap anak  harus terlebih dahulu mempertimbangkan sejauh mana kemampuan orang tua dalam memberikan keteladanan bagi perkembangan karakter anak. Meskipun dalam pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, namun hakim dapat melakukan diskresi bahwa tidak selamanya seorang ibu menjadi pemegang hak asuh terhadap anak. Jika dalam fakta persidangan terungkap bahwa si ibu adalah seorang pemabuk, penjudi, suka memukul, kerap menelantarkan anak atau tidak cakap untuk memelihara anak, bisa saja hak asuh diserahkan ke pihak ayah.
Kedua, opini publik cenderung membenturkan persepsi paradoks isi putusan, antara menjatuhkan hak asuh kepada ibu, sementara ayah juga berkewajiban mencurahkan kasih sayang terhadap anak tanpa batas waktu. Seolah putusan itu mencerminkan bentuk kegamangan hakim. Dalam Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan pasal 45 ayat (2) disebutkan bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal itu mengindikasikan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak tidak boleh diputus ataupun dihalang-halangi. Adanya penguasaan anak  secara  formil  oleh salah       satu  pihak   pada  hakikatnya  untuk mengakhiri sengketa perebutan  anak.  Yang apabila  sengketa  itu  tidak diputus di pengadilan, akan menjadi berlarut-larut, sehingga muaranya anak menjadi korban. Banyak sekali setelah proses perceraian seseorang tidak mempersoalkan hak asuh anak,         karena keduanya sepakat mengasuh  dan  mendidik  anak  bersama-sama.  Tapi  bagaimana  jika muncul sengketa perebutan hak asuh anak yang terjadi terus-menerus yang merugikan masa depan anak? Haruskah anak tersebut dipenggal dan dibagi dua? Ataukah anak berlalu lalang membagi hari kunjung hanya untuk memenuhi egoisme ayah dan ibunya? Di sinilah pengadilan harus menimbang siapa yang paling cakap memelihara anak, tanpa membatasi kasih sayang keduanya sebagai orang tua.
Penguasaan secara hukum atas anak oleh salah satu pihak, bukan berarti menghalangi atau memutus hubungan dengan pihak lain. Itu bertentangan dengan hukum Islam. Ini semacam ijtihad hakim supaya kedua belah pihak berhenti bertikai dan perkembangan mental anak tidak terganggu. Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan bahwa menghindari kerusakan (mental  anak)  lebih  didahulukan  daripada  mengambil kemaslahatan. Maknanya, penguasaan tunggal atas anak oleh salah satu pihak bertujuan untuk menempatkan anak bukan sebagai korban pertikaian.  Anak harus diberikan kepastian hukum (rechtzekerheid) oleh siapa dia diasuh supaya tidak seperti barang dagangan yang diperebutkan.

NAFKAH ANAK
Pengaturan nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI, yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
a.    nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
b.    biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
c.    biaya pendidikan bagi anak.
Sedangkan pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan Undnag-undang Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.
Lebih lanjut, dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa apabila suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Ini berarti apabila suami tidak memberikan nafkah untuk keperluan hidup rumah tangganya, isteri dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama (bergantung dari agama yang dianut oleh pasangan suami isteri tersebut).

ANALISIS
Setelah membaca duduk perkara di atas dapat ditarik dua permasalahan yaitu tentang permohonan Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon (istrinya) dan gugatan Termohon mengenai haknya akibat hukum dari perceraian yang meliputi nafkah masa iddah, mutah, Hak asuh anak, dan nafkah anak. Sehingga dalam pokok perkara suami disebut Pemohon dan dalam perkara rekonpensi disebut sebagai Tergugat sedangkan istrinya dalam pokok perkara cerai disebut Termohon namun dalam Rekonpensi disebut Penggugat.
Menurut ketentuan pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. pasal 113 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebuah perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan.
Berdasarkan kasus yang penulis bahas, merupakan kasus cerai talak dikarenakan diajukan oleh laki-laki terhadap istrinya. Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta serta Mahkamah Agung memberikan izin kepada Pemohon untuk ikrar talak terhadap Termohon merupakan putusan yang sudah sangat sesuai dikarenakan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon sudah tidak bisa disatukan lagi serta sudah sangat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yaitu sebagaimana terdapat dalam Pasal 116 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Bahwa, 
 Berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh Penggugat Rekonpensi maka terdapat beberapa tuntutan akibat cerai yaitu nafkah anak. Selain nafkah anak, hakim secara ex offixio memberikan nafkah iddah dan mutah. Serta pada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta memutuskan tentang hak asuh anak, sedangkan Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Mahkamah Agung tidak memutus tentang hak asus anak.
Nafkah iddah dan mutah dalam perkara yang penulis bahas di kabulkan oleh semua tingkatan Pengadilan namun berbeda nominal dalam putusan tiap tingkat peradilan. Pada Putusan Pengadilan Agama Agama Jakarta Timur dalam putusannya disebutkan bahwa Pemohon berkewajiban memberikan nafkah iddah sebesar Rp. 3.000.000 dan mutah sebesar Rp. 5.000. 000. Pada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, Hakim memberikan putusan dengan menaikkan mutah yang semula Rp. 5.000.000 menjadi Rp. 50.000.000 dan juga memberikan kenaikan untuk nafkah iddah yang harus di bayar Pemohon yaitu dari semula Rp. 3.000.000 menjadi Rp. 4.500.000 selama masa iddah. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa untuk nafkah iddah menaikkan nominalnya yaitu dari Rp. 4.500.000 menjadi Rp. 9.000.000 namun dalam mutah Mahkamah Agung sependapat dengan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta yaitu sebesar Rp. 50.000.000. pemberian nafkah iddah dan mutah merupakan  Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan Tinggi Agama dan Mahkamah Agung telah membuat suatu terobosan dengan mewajibkan suami, sekalipun tidak terdapat gugatan Rekonpensi tentang iddah dan mutah, dengan membebankan kewajiban secara ex-officio untuk kepada Pemohon selaku suami untuk memberikan nafkah iddah dan mutah. Dalam hal mutah dalam dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, dan Mahkamah Agung.
Putusan ketiga tingkatan peradilan tersebut, Hal ini sejalan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,  pasal 149 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 152 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan pasal 158 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang kewajiban suami untuk memberi nafkah iddah dan mutah.
Pasal 41 huruf (c) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 menyatakan Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
Memberi  mutah  yang  layak  kepada  bekas  istrinya  baik  berupa uang atau benda, kecuali bekas istrinya tersebut qabla al dukhul.
Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhkan talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil
Selanjutnya pada Pasal 152 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di jelaskan Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz. Selanjutnya dijelaskan pula dalam Pasal 158 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Mutah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:(b) Perceraian itu atas kehendak suami.
Merujuk kepada ketentuan yang telah disebutkan di atas, secara yuridis normatif, ketentuan tersebut menjadi acuan bagi Majelis Hakim dalam menjatuhkan pembebanan berupa nafkah selama masa iddah dan mutahsesuai hasil pemeriksaan secara cermat di persidangan.
Berdasarkan pembahasan penulis ini juga, dalam perkara tersebut juga di sebutkan tentang hak asuh anak. Hal ini Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Mahkamah Agung tidak memberikan putusan tentang Hak asuh anak (hadhanah), namun di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta  dalam putusannya dijelaskan tentang hak asuh anak.
Bahwa, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan memberikan putusan tentang hak asuh anak yang tidak diminta oleh kedua belah pihak merupakan tindakan yang melebihi kewenangannya, karena hakim dalam perkara perdata merupakan hakim yang bersifat aktif.
Larangan terhadap putusan ultra petita di Indonesia terdapat dalam lingkup acara perdata. Larangan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum). Putusan yang sifatnya ultra petita dianggap sebagai tindakan yang melampaui kewenangan lantaran hakim memutus tidak sesuai dengan apa yang dimohon (petitum). Terhadap putusan yang dianggap melampaui batas kewenangan Mahkamah Agung berhak dalam tingkat kasasi berhak membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Hukum acara perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu. Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan perubahan atau pengurangan, sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan dalam koridor hukum acara perdata. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.
Hakim yang melakukan ultra petita dianggap telah melampaui wewenang atau ultra vires. Putusan tersebut harus dinyatakan cacat meskipun putusan tersebut dilandasi oleh itikad baik maupun telah sesuai kepentingan umum. Menurut Yahya Harahap jika hakim melanggar prinsipultra petita maka sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law.
Dalam perkara ini juga mahkamah agung membuat mengeluarkan kaidah hukum yaitu:  bahwa, hak hadhanah (pengasuhan anak) sepanjang tidak diajukan dalam gugatan, hakim tidak boleh menentukan sendiri siapa pengasuh anak tersebut secara ex officio, karena telah melebhi apa yang dituntut dalam gugatan (ultra petita) dan hadhanah tidak dapat ditetapkan secara ex officio kecuali dengan tegas diperbolehkan oleh undang-undang.
Selain hal di atas, juga terdapat tentang nafkah anak, Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dan Mahkamah Agung memberikan keputusannya mengenai nafkah anak. Namun jumlah besaran jumlah nafkah anak tersebut berbeda-beda, Pengadilan Agama Jakarta Timur memberikan nafkah anak sebesar Rp. 3.000.000 diluar biaya pendidikan, kesehatan dan sandang. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta berkaitan dengan nafkah anak memberikan putusan tentang nafkah anak sebesar Rp. 4.000.000 ditambah kenaikan sebesar 20 % tiap tahunnya diluar biaya pendidikan, kesehatan dan sandang. Sedangkan Mahkamah Agung memberikan putusan tentang nafkah anak sebesar Rp. 6.000.000 ditambah kenaikan sebesar 20 % tiap tahunnya diluar biaya pendidikan dan kesehatan.
bahwa, hak nafkah bagi anak, tidak putus, sehingga ayah tetap berkewajiban menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan,
وَأَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ , عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْءِ نَفَقَةَ أَوْلادِهِ الأَطْفَالِ الَّذِينَ لا مَالَ لَهُمْ . وَلأَنَّ وَلَدَ الإِنْسَانِ بَعْضُهُ , وَهُوَ بَعْضُ وَالِدِهِ , فَكَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ كَذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِ وَأَصْلِه
Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. Karena anak seseorang adalah darah dagingnya, dia bagian dari orang tuanya. Sebagaimana dia berkewajiban memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, dia juga berkewajiban memberi nafkah untuk darah dagingnya. (al-Mughni, 8/171).
Berdasarkan pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan si anak, apabila kemudian si bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Selain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41, juga dipertegas dalam pasal 149 huruf d juncto pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dijelaskan Bapak tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya, sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
Dalam Undang-Undang Perlindungan anak Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka ia dapat meminta orangtuanya memenuhi kewajibannya. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1.    mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
2.    menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
3.    mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan
4.    memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak
 Dalam hal Orang Tua dan Keluarga Anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab tersebut, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai Wali dari Anak yang bersangkutan.
Dalam hal kasus ini, maka Pengadilan Agama Jakarta Timur, Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, dan Mahkamah Agung, sudah sangat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan serta ketentuan Islam.
Bahwa, hakim dalam memeriksa perkara menggunakan beberapa teori hukum. Dalam kasus ini beberapa teori hukum yang digunakan oleh hakim yang Pertama, Hakim Menggunakan Teori Keadilan. teori ini digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Hakim Tinggi Pengadilan Agama Jakarta, dan juga Hakim Agung Mahkamah Agung hal ini ditandai dengan terdapatnya kata-kata Bismillahirrahmanirrohim Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini terdapatnya kata-kata Demi Keadilan hal ini menjelaskan bahwa hakim dalam memutus berangkat dari premis yang disebut orginal position.  Komitmen demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai makna hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara bertekad untuk mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi kenyataan sehingga para pencari keadilan berhasil memperoleh keadilan.  Komitmen merupakan suatu janji, sumpah dan tekad hakim pemeriksa perkara. Janji merupakan sebuah ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu yakni mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan YME pada perkara ini.
Kedua, Hakim menggunakan Teori Ketuhanan. Hal ini sudah sangat tercermin pada kepada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Hakim Tinggi Pengadilan Agama Jakarta, dan juga Hakim Agung Mahkamah Agung terdapatnya kata-kata Bismillahirrahmanirrohim Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwasanya, keputusan hakim dalam perkara ini bersumber dari hukum Tuhan dan tidak ada yang bertentangan dengan hukum Tuhan untuk mewujudkan keadilan bagi pencari keadilan.
Ketiga, hakim menggunakan Teori Kepastian Hukum. Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif.  Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. Berkaitan dengan kasus dalam makalah ini hakim telah memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berperkara baik pada tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama, tingkat banding yaitu pengadilan Tinggi Agama dan juga tingkat Kasasi di Mahkamah Agung telah memberikan kepastian hukum dengan diputuskan perkara tersebut.
Keempat, Hakim Menggunakan Teori Keseimbangan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak Penggugat dan Tergugat. Teori ini dikaitkan dengan kasus cerai talak dalam makalah ini sangat cocok, dikarenakan semua hakim pada tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama, tingkat banding yaitu pengadilan Tinggi Agama dan juga tingkat Kasasi di mahkamah Agung menerapkan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang serta untuk kepentingan hukum para pihak yang berperkara yaitu dengan dikabulkannya permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon dan juga dikabulkannya gugatan rekonpensi Penggugat Rekonpensi tentang hak asuh anak dan juga nafkah untuk anak dari Pemohon Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan Termohon Konvensi/Penggugat Rekonvensi.
Kelima, hakim dalam memutus kasus ini juga menggunakan teori Pendekatan Seni dan Intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu Penggugat dan Tergugat, dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.
Keenam, hakim juga menggunakan teori Ratio Decidendi, Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan kasus yang dbahas dalam perkara ini penulis melihat bahwa pertimbangan-pertimbangaan hukum hakim dari tingkat Pengadilan Agama sampai Mahkamah Agung sudah sangat mempertimbangan segala aspek.
Ketujuh, hakim menggunakan teori Maslahat. Al-Ghazali  memformulasikan  teori kemaslahatan dalam kerangka mengambil manfaat dan menolak kemudaratan untuk memelihara tujuan-tujuan syara. 
Salah satu kaidaf fiqih yang digunakan oleh hakim yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya : "Menolak kemadhorotan harus didahulukan dari pada menarik kemanfaatan".


KESIMPULAN
Bahwa, berdasarkan perkara cerai talak di atas, dapat disimpulkan  bahwa mengenai cerai talak dan akibat hukumnya yaitu nafkah iddah, mutah, hak asuh anak dan nafkah anak  telah diputus oleh hakim dalam kasus ini. Hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: Memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang maupun benda, Memberi nafkah, mas kawin, dan kiswah terhadap bekas istri selama dalam masa iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain dan dalam keadaan tidak hamil, Melunasi mahar yang telah terhutang seluruhnya dan separoh apabila qabla al dukhul, Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 235 dan ayat 236;
Dalam kasus ini Para hakim menggunakan teori hukum yaitu Teori Ketuhanan, teori keadilan, teori kepastian hukum, teori keseimbangan, teori Pendekatan Seni dan Intuisi, teori  Ratio Decidendi, dan teori maslahat.














DAFTAR PUSTAKA ACUAN
BUKU DAN JURNAL
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Arto, A. Mukti, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan: Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017.
Dirjen Bimas Islam Depag RI, Himpunan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2009.
al-Imad Ibn, Syazarat al-Zahab fi Akhbar  Man Zahab, (Beirut: al-Maktab al-Tijari, t.t.), jilid V
Kusumohamidjojo, Budiono, Teori Hukum: Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, Bandung: Yrama Widya, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum,  Jakarta: Kencana, 2008.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2016, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2016
Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah Luwu, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Raudlah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin, juz, 1.
RifaI , Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
R, M. Dahlan, ‘Fikih Munakahat, Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Saebani, Beni Ahmad, Perkawinan dalam hukum Islam dan undang-undang: perspektif fiqh munakahat dan UU no. 1/1974 tentang poligami dan problematikanya, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Saija, R. dan Iqbal Taufiq, Dinamika Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta: Deeppublish, 2016.
Suara ʻAisyiyah, Volume 84, Yogyakarta: Yayasan Penerbit Pers ʻAisyiyah, 2007.
Syuhud ,A.Fatih, Merajut Rumah Tangga Bahagia, Malang: Pustaka al-khairat, 2014.
Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan pendekatan Ushuliyah, Jakarta: Kencana, 2010.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Republik Indonesia No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama


PUTUSAN
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor: 1082/Pdt.G/2013/PAJT
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara Nomor: 16/Pdt.G/2015/PTA JK
Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor: 629K/AG/2015.

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM DAN KLASIFIKASI PERBANDINGAN HUKUM

dasar pemikiran tasawuf K.H. Ahmad Siddiq

AYAT DAN TAFSIR AHKAM TENTANG NUSYUZ