INTERAKSI HUKUM WARIS ADAT BAWEAN DENGAN HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN
Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang memiliki perbedaan walaupun ada juga persamaannya. Demikian pula mengenai ketentuan tentang pewarisannya terdapat banyak perbedaan, namun ada juga persamaannya. Hukum adat tidak dapat dipisahkan dari dalam kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, karena setiap anggota masyarakat di masing-masing daerah tersebut selalu patuh pada hukum adat, yang merupakan hukum tidak tertulis, hukum tersebut telah mendarah daging dalam hati sanubari anggota masyarakat yang dapat tercermin dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tersebut.
Negara Republik Indonesia sampai sekarang ini masih berlaku hukum waris yang bersifat pluralistik, yaitu:Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli, Hukum Waris Islam, untuk warga negara Indonesia asli di berbagai daerah dari kalangan tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama Islam dan  Hukum Waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, yang berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Sistem pewarisan menurut hukum waris adat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatannya atau kekerabatan yang  terdiri dari sistem patrilinial (sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis bapak),  sistem matrilineal yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis ibu, sistem parental atau bilateral yaitu sistem kekerabatan yang ditarik menurut garis bapak dan ibu.
Hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengandung dualisme hukum, yaitu ada pasal yang menjelaskan menjelaskan bahwa bagian laki-laki dengan bagian perempuan adalah dua berbanding satu dan juga bisa juga dengan jalur perdamaian.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 176 mengatur bahwa besaran bagian  harta warisan bagi anak laki-laki dan perempuan. Kepastian ketetapannya tetap berpegang teguh pada norma surat An-Nisa' ayat 11. Namun dalam pasal 183 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 176 membuka kemungkinan untuk menyimpang melalui jalur perdamaian. Dalam pasal ini disebutkan bahwa patokan penerapan besarnya bagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bagian anak laki di bandingkan dengan bagian anak perempuan adalah dua berbanding satu (2:1).
Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian yang menyimpang dari ketentuan pasal 176.
Cara penyelesaian pembagian harta waris yang dilakukan secara kekeluargaan yaitu berdasarkan kesepakatan para ahli waris, merupakan solusi yang bijaksana untuk menyikapi perbedaan kondisi ekonomi para ahli waris.  Melalui sistem ini, ahli waris yang secara teoritis bisa mendapatkan bagian yang besar, bisa saja menyerahkan bagiannya kepada ahli waris lain yang normalnya mendapatkan porsi yang lebih kecil tapi secara ekonomis membutuhkan perhatian khusus.
Prinsip Kesepakatan dalam Pembagian Waris Pembagian waris dengan prinsip kekeluargaan sesungguhnya didasarkan pada keyakinan para ulama fiqh bahwa masalah waris adalah hak individu di mana yang mempunyai hak boleh menggunakan atau tidak menggunakan haknya, atau menggunakan haknya dengan cara tertentu selama tidak merugikan pihak lain sesuai aturan standar yang berlaku dalam situasi biasa.
Dalam gejala sosiologis yang di ketengahkan masyarakat Bawean adalah yaitu mereka mendukung emansipasi wanita Bawean.  Mereka dalam masalah pendidikan, wanita  mengambil porsi yang sama. Berkaitan dengan masalah warisan, setelah penulis melakukan observasi sementara, menyebutkan bahwa masalah pembagian waris di Bawean menggunakan waris Bawean. Pembagian waris Bawean, untuk porsi pembagiannya adalah 1:1 yaitu untuk laki-laki mendapat satu bagian dan perempuan mendapatkan satu bagian, pembagian waris berdasarkan waris adat Bawean apabila tidak ada sengketa dalam pembagiannya. namun apabila ada sengketa dalam pembagian harta warisan tersebut, maka pembagiannya tidak diselesaikan dengan menggunakan pembagian waris adat Bawean, melainkan di selesaikan di Pengadilan Agama. Jadi penyelesaian masalah kewarisan dengan porsi 1:1 bisa diterapkan apabila tidak ada sengketa diantara pihak-pihak yang berhak menerima warisan.
Hal tersebut mempunyai korelasi dan kesamaan dalam Pembagian waris dengan cara perdamaian atau mufakat, sehingga untuk lebih lanjut maka penulis membahas tentang korelasi antara Hukum Waris Adat Bawean dengan Hukum Waris yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).


















HUKUM WARIS ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Kata berasal dari bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli waris. Ilmu faraidh atau mawaris dita'rifkan sebagai berikut:
اَلْفِقْه ُالْمُتَعَلَّقُ بِا ْلاِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ المَوْ صِلِ اِلىَ مَعرِفةِ ذَلِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الوَاجِبِ مِنْ التَرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَّقَّ .
"ilmu yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang tata cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap penilik hak pusaka.
Sebagaimana yang di kutip Oleh Sudarsono tentang definisi hukum waris yag didefinisikan oleh Ali Affandi, bahwa hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka  sendiri, maupun dengan pihak ketiga.
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam (fikih), sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi, ayat-ayat al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Nabi yang secara langsung mengatur kewarisan dan juga ijtihad para ulama. Berikut ini adalah beberapa dasar hukum:
a. Al-Qur'an, merupakan sebagian besar sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard tiap-tiap ahli waris, seperti yang tercamtum dalam Surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lainnya.
Q.S. An-Nisa' ayat 7 adalah sebagai berikut:
(((((((((((( ((((((( (((((( (((((( (((((((((((((( ((((((((((((((( (((((((((((((( ((((((( (((((( (((((( (((((((((((((( ((((((((((((((( ((((( (((( (((((( (((( (((((( ( (((((((( (((((((((( ((( 
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan ( Q.S. An-Nisa' ayat 7).
Q.S. An-Nisa' ayat 11 adalah sebagai berikut:
(((((((((( (((( (((( ((((((((((((( ( ((((((((( (((((( ((((( ((((((((((((( ( ((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( (((((((( ((((((( ((( (((((( ( ((((( ((((((( ((((((((( ((((((( (((((((((( ( (((((((((((( ((((((( ((((((( (((((((((( ((((((((( ((((( (((((( ((( ((((( ((((( (((((( ( ((((( (((( ((((( ((((( (((((( (((((((((((( ((((((((( ((((((((( ((((((((( ( ((((( ((((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((((((( ( (((( (((((( (((((((( (((((( (((((( (((( (((((( ( ((((((((((((( (((((((((((((((( (( ((((((((( (((((((( (((((((( (((((( ((((((( ( ((((((((( ((((( (((( ( (((( (((( ((((( (((((((( (((((((( (((( 
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Q.S. An-Nisa' ayat 176 adalah sebagai berikut:
((((((((((((((( (((( (((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( ( (((( (((((((((( (((((( (((((( ((((( (((((( (((((((( (((((( ((((((( (((((( ((( (((((( ( (((((( (((((((((( ((( (((( ((((( ((((( (((((( ( ((((( (((((((( (((((((((((( ((((((((( (((((((((((( ((((( (((((( ( ((((( ((((((((( (((((((( (((((((( (((((((((( ((((((((((( (((((( ((((( ((((((((((((( ( ((((((((( (((( (((((( ((( ((((((((( ( (((((( ((((((( (((((( ((((((( ((((( 
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu."
Ayat-ayat diatas adalah ayat yang menjelaskan langsung tentang kewarisan dan masih ada banyak lagi ayat-ayat yang berkenaan dengan kewarisan yang dijadikan sebagai sumber dan juga dasar hukum kewarisan.
Hadis, yaitu hadis-hadis yang berkenaan dengan hukum waris.
Hadis Nabi yang mengatur tentang kewarisan adalah sebagai berikut:
Hadis Dari Muhammad Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
عَنِْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ اَلنَّبِيَّ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًمَ قاَ لَ :  أَلْحِقُوا اَلْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا , فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَر (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ) 
"Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya kepada laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat."
Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Imron bin hussein menurut riwayat Imam Abu Daud:
عَنْ عِمْرَانَ بْن حُسَيْنِ أَنَّ رَجُلَ أتَى النَبِيَّ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَا لَ أَنَّ اِبْنَ اِ بْنُِ اِ بْنَتِىْ ماَ تَ فَمَا لِىْ مِنْ مِيْرَاثِهِ فَقَا لَ لَكَ السٌّدُ سِ (رواه أبو داو )
"Dari 'Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatang nabi Saw. Sambil berkata: "bahwa anak laki-laki dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang dapat dari harta warisannya". Nabi Berkata: "kamu mendapat seperenam".
Hadis Nabi Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi:
عَنْ اُ سَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَ نَّ النَّبِيَّ  صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ( لَا يَرِثُ اَلْمُسْلِمُ اَلْكَافِرَ, وَلَا يَرِثُ اَلْكَافِرُ اَلْمُسْلِمَ (رُوَاهُ التُّرمِذِيْ).
"Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw, bersabda: Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak dapat mewarisi harta orang muslim".
Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam Ibnu Majah juga menjelaskan tentang kewarisan yaitu:
عَنْ  اَ بِىْ هُرَ يْرَ ةَ عَنْ النَّبِيَّ  صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ: اَ لْقَا تِلٌ لا َيَرِ ثٌ (رواه ابن ماجه) 
"Dari Abu Hurairah dar Nabi Muhammad Saw. Bersabda: "orang yang membunuh tidak bisa menjadi ahli waris ".
Ijtihad Para Ulama
Meskipun Al-Quran dan al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad. Yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Al-Qur'an maupun al-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waris), diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suamin atau istri dan sebagainya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pembagian waris di jelaskan dalam


HUKUM WARIS ADAT BAWEAN
Dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean ada beberapa pembagian, tergantung daerah mana pembagian harta warisan. Dalam pembagian harta waris ada dua cara untuk membaginya yaitu pembagian waris dengan menggunakan hukum waris Islam dan pembagiann waris menggunakan hukum waris adat (urf)  Bawean.
Di Pulau Bawean sebagian masyarakat tetap menggunakan hukum waris Islam atau yang biasa disebut oleh masyarakat Bawean dengan sebutan hukum waris syariat. Sebelum dilakukan pembagian harta waris akan disepakati dulu dengan menggunakan hukum waris apa, hukum waris Islam atau hukum waris adat (secara mufakat/musyawarah). Setelah ada kesepakatan dalam pembagian waris, maka nanti akan dibagi sesuai dengan hasil kesepakatan ahli waris. Apabila menggunakan hukum waris Islam, maka akan digunakan hukum waris Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur'an dan Hadis, dan fikih.
Dalam pembagian harta waris menggunakan hukum waris Islam, masyarakat Pulau Bawean mengenal suatu pepatah atau kaidah yang digunakan  masyarakat Bawean yaitu "lalake nongtong Babine nyoon", artinya laki-laki mikul dan perempuan menjinjing. maksud dari kaidah tersebut adalah pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean bahwa perempuan mendapatkan satu bagian dan laki-laki mendapatkan dua bagian. Dalam pembagian dengan menggunakan cara ini, sesuai dengan ketentua hukum waris Islam. Semua responden yang penulis telah wawancarai sepakat bahwa pembagian harta waris secara syariat/fikih masih dilaksanakan di Pulau Bawean.
Dalam pembagian harta waris dengan cara musyawarah mufakat  didasarkan pada kesepakatan ahli waris untuk membagi secara bagi rata. Sistem yang dipakai adalah sistem kekeluargaan. Jadi, apabila semua ahli waris sepakat untuk dibagi menggunakan hukum waris adat Bawean maka bisa dibagikan secara langsung  dengan formasi satu banding satu (1:1) yaitu satu bagian untuk perempuan dan satu bagian untuk laki-laki.
Menurut pendapat K.H. R. Ahmad Buang Aziz dan K. Hazin Zainuddin bahwa sebelum adanya pembagian secara mufakat/musyawarah, harus dijelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam. Setelah dijelaskan tentang hukum waris Islam namun para ahli waris ingin membagikan secara hukum waris adat (secara mufakat/musyawarah), maka harta waris bisa dibagi dengan menggunakan dengan hukum waris adat.
Menurut keterangan dari K.H. Bajuri Yusuf dan Abd. Kamil menjelaskan bahwa dalam pembagian urf ini dilaksanakan sebagaimana pembagian secara musyawarah/kesepakatan. Jadi, tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam namun langsung bermusyawarah untuk menentukan apakah akan menggunakan hukum waris Islam atau hukum waris adat. Apabila menggunakan hukum waris Islam, setelah adanya kesepakatan ahli waris harta warisannya bisa dibagi dengan bagi rata.
Menurut K. Hazin Zainuddin pembagian harta waris dengan bagi rata merupakan kerelaan pihak laki-laki kepada perempuan. Jadi, bagi rata merupakan sedekah atau pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang seharusnya perempuan hanya mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.
Dalam pembagian harta waris waris berdasarkan adat Bawean bahwasanya kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masalah kewarisan menggunakan adat Bawean disamakan. Hal ini bisa dilakukan jika terjadi kesepakatan dengan menggunakan hukum adat. Untuk formasi pembagiannya adalah laki-laki dan perempuan bagiannya disamakan yaitu satu banding satu (1:1). Maksud dari formasi 1:1 yaitu satu bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan. Hal ini bisa dibagi secara rata apabila terjadi kesepakatan diantara ahli waris.
Namun pembagian harta warisan tersebut tidak bisa dibagi apabila ada sengketa terhadap pembagiaan harta warisan tersebut. apabila ada sengketa terhadap pembagian harta waris, maka akan mengundang tokoh agama untuk diadakan kesepaakatan dalam pembagiannya, akan dibagi secara syariat atau dibagi secara kekeluargaan (bagi rata). Maka apabila sudah terjaadi kesepakatan maka akaan dibagi secara rata. Bahwa dalam pembagian hukum adat pembagian waris diselesaikan dengan kekeluargaan. Jadi kedudukan antara seorang laki-laki dan perempuan disamakan/setara. Menurut K.H. Hazin Zainuddin  kesetaraan tersebut merupakan pemberian dari pihak laki-laki pada pihak perempuan yang seharusnya tidak mendapatkan bagian yang sama dengan laki-laki.

Proses Pembagian Harta Waris Berdasarkan Adat Bawean
Sebelum adanya proses pembagian harta waris, maka yang harus diselesaikan adanya masalah pengurusan jenazah dan juga hutang dari orang yang meninggal. Sebelum pembagian harta waris, maka harus di bagikan tirkah pada yang berhak seperti kepada orang yang memandikan. Tidak semua orang yang memandikan mendapatkan bagian dari tirkah tersebut. orang yang mendapatkan harta tirkah tersebut adalah orang yang memandikan mayit dan ia yang berada di sebelah tengah untuk membersihkan kotoran dari anus si mayit dan juga membersihkan alat kelaminnya.  itu mendapatkan hadiah dalam adat Bawean yang biasa di sebut dengan Tanah pekelaan. Tanah pakelaan adalah hadiah tanah yang di dapat seseorang yang telah memandikan mayit (pewaris) dan ia rela untuk membersihkan kotorannya dan anusnya dan juga alat kelaminnya, maka orang tersebut berhak untuk mendapatkan tanah yang biasa disebut masyarakat Bawean dengan sebutan tanah pakelaan.
Setelah pemberian hadiah diberikan pada orang yang memandikan, langkah selanjutnya adalah pemberian rumah kepada anak perempuan atau laki-laki yang merawat orang yang tuanya, maka ia berhak mendapatkan rumah yang ditinggalinya bersama orang tua yang dirawat olehnya. Biasanya rumah ini diberikan oleh orang tuanya yang perempuan setelah meninggal dunia. Rumah diberikan kepada anak yang merawat orang tuanya sebagai rasa terima kasih terhadap dia yang rela merawat beliau sampai akhir hayat.
Menurut keterangan dari  bahwa dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean biasanya dilakukan setelah para pewaris meninggal, biasanya dilakukan setelah 7 hari atau setelah 40 hari. Berbeda dengan pernyataan dari K.H. R. Ahmad  Buang Aziz,  K.H. Bajuri Yusuf menjelaskan bahwa bagian harta waris tidak akan dibagi sebelum bapak dan ibunya meninggal. Untuk proses pembagiannya adalah pertama mengundang para ahli waris, lurah, kepala dusun, ahli tafsir harga, dan juga tokoh masyarakaat di desa tersebut. setelah dikumpulkan maka akan di tanyaakan apakah akan menggunakan adat (sistem kekeluargaan/ bagi rata) atau dibagi dengan secara syariat/menurut fikih. Apakah telaah ditentukan maka akan dibagikan sesuai dengan mufaakaat/musyawarah yang telah dilakukan. Apaabila dibagi dengan sistem kekeluargaan maka akan dibagi rata kepada ahli waris yang berhak menerima harta warisan tersebut.

Orang-Orang Yang di undang dalam Pembagian Waris
Dalam pembagian harta waris biasanya dilakukan bersama ahli waris dan juga pihak-pihak yang harus di undang dalam pembagian waris tersebut. Beberapa pihak yang harus di undang adalah:
Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sesuia dengan ketentuan Islam. Ahli waris di undang untuk melakukan pembagian harta waris. Maka harus diundang.
Tokoh Masyarakat
Tokoh masyarakat sebagai orang yang diberikan wewenang oleh ahli waris untuk membagikan harta warisan. Tokoh masyarakat akan membagikan sesuai dengan kesepakatan para ahli waris.
Kepala dusun
Kepala dusun adalah sebagai aparat yang ada didusun tersebut, sebagai orang yang menjadi saksi dalam pembagian tersebut..
Ahli tafsir harga,
Ahli tafsir harga Berfungsi sebagai ahli tafsir harga atas harta yang akan dibagikan. Agar apabila setelah terjadi pembagian harta waris, bagian yang diterima sesuai dengan harga barang yang ada di masyarakaat tersebut.
Lurah
Lurah berfungsi sebagai aparat yang apabila terjadi balik nama terhadap harta warisan yang telah dibagikan, maka lurah bisa langsung mengetahui harta tersebut jatuh pada siapa dan bisa langsung merubah nama pada harta warisan tersebut.
Saksi dari kerabat
Saksi dari kerabat berfungsi sebagai saksi, agar apabila ada sengketa terhadap harta setelah dibagikan maka bisa diperjelas dengan adanya saksi. Maka apabila ada masalah dikemudian hari tentang masalah tentang pembagian waris tersebut, maka akan dihadirkan saksi yang telah menyaksikan pembagian waris tersebut.
Itulah orang-orang yang harus diundangdalam pembagian waris. Namun bisa saja dalam pembagian harta waris tidak mengundang tokoh masyarakat, lurah, RW, ahli tafsir harga, namun hanya dibagi oleh para kerabat adari ahli waris yang bersangkutan.

Dasar Hukum Pembagian Waris Menurut Adat Bawean
Berdasarkan dari keterangan para narasumber yang penulis wawancarai, bahwa dasar hukum yang dipakai dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean berbeda pendapat, namun dari perbedaan pendapat diantara mereka, terdapat juga kesamaan.
Menurut pendapat K.H. Bajuri Yusuf bahwa dasar hukum yang dipakai dalam pembagian harta waris berdasarkan adat Bawean adalah bit-tarodhi yaitu adanya keridhaan dari para ahli waris untuk membagikan harta waris secara bagi rata berdasarkan musyawarah mufakat. Jadi, dengan adanya musyawarah mufakat dan keridhaan, maka harta waris bisa dibagikan.
K.H. Hazin Zainuddin dan K.H. R. Ahmad Buang Aziz,  juga menjelaskan bahwa dasar hukum yang dipakai dalam hukum waris adat Bawean (secara kekeluargaan) adalah kesepakatan dari pihak keluarga untuk membagikan secara bagi rata pada semua ahli waris dengan catatan semua pihak keluarga sama-sama ridha untuk membagikan secara kekeluargaan atau bagi rata..
Abd. Kamil mengatakan bahwa dasar hukum yang dipakai dari hukum waris berdasarkan adat Bawean adalah bil-maslahah yaitu demi kemaslahatan semua ahli waris yang menerima harta waris. Hal tersebut ditetapkan dengan adanya musyawarah mufakat dari pihak keluarga yang menerima harta warisan.
Dari semua narasumber yang diwawancarai terdapat kesamaan dalam hal dasar hukum yang dipakai. Dasar hukum yang dipakai menganut asas bahwa dalam pembagian harta waris didasarkan adanya kesepakatan, keridhaan, kemaslahatan bagi semua ahli waris sehingga tidak perselisihan kemudian hari.
Kasus-Kasus Tentang Waris Adat Bawean adalah Sebagai Berikut:
Kasus I
Dalam Pembagian waris dari keluarga dari Mufdalah (Alm), mempunyai 8 orang anak, tetapi 2 orang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu sehingga timdak mendapat bagian.  Namun dari keenam anak yang ada 5 laki-laki dan 1 perempuan. Dalam kesepakatan keluarga mufdhalah (Alm) telah disepakati bahwa semua pihak telah mengetahui bagiannya berdasarkan Hukum Islam dan mereka semua telah sepakat untuk membagi rata antara laki-laki dan perempuan.

Kasus II
Kasus kedua yang penulis bahas adalah perkara no. 52/Pdt.P/2014/PA.Bwn yang diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama Bawaean. Bahwa didalam putusan dalam perkara ini terdapat 3 Pemohon, dengan dasar yang telah diajukan para pemohon yang cukup meyakinkan sehingga hakim mengabulkan permohonan penetapan ahli waris yang diajukan oleh Para Pemohon. Dalam pembagian ahli waris setelah penetapan tersebut pembagiannya tidak beda jauh dengan kasus pertama dibagi rata antara laki-laki dan perempuan.
ANALISIS
Hukum atas persoalan kewarisan bila terjadi sengketa waris adalah membicarakan pilihan hukum (choice of law) dalam tataran praktik. Artinya bahwa hukum positif di Indonesia masih membuka ruang bagi para pihak memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam penyelesaian pembagian harta warisan yang nantinya memberikan konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.
Pilihan hukum di sini maksudnya sengketa tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Adat atau KUHPerdata (Civil Law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Islam. Hal ini terkait Indonesia masih menganut sistem pluralisme hukum.
Bagi Pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi pegangan  adalah UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Umum UU tersebut dinyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya menjadi pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan penyelesaian pembagian harta waris bagi Pewaris yang beragama Islam (personalitas Keislaman Pewaris) atau Non-Islam.
Di dalam praktik, pilihan hukum ini menimbulkan berbagai masalah, karena ahli waris bisa saling gugat di berbagai pengadilan. Permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung dan atau mengajukan upaya hukum kasasi untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memutus adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh para pihak bila tidak bersepakat dalam menentukan mau tunduk terhadap hukum yang mana dalam penyelesaian sengketa waris.
Pada dasarnya Hukum waris Adat Bawean dengan Hukum waris yang terdapat didalam Kompilasi Hukum Islam terdapat kesamaan dalam hal pembagian waris yang terdapat tentang kesepakatan dalam pembagian waris.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.  Yang dimaksudkan dengan menyadari masing-masing bagiannya dijelaskan dalam Pasal sebelumnya yaitu Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam menyatakan Bahwa, “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”
Sedangkan dalam Hukum Waris Adat bawean pun dijelaskan bahwaa dalam pembagian harta waris dengan cara musyawarah mufakat  didasarkan pada kesepakatan ahli waris untuk membagi secara bagi rata. Sistem yang dipakai adalah sistem kekeluargaan. Jadi, apabila semua ahli waris sepakat untuk dibagi menggunakan hukum waris adat Bawean maka bisa dibagikan secara langsung  dengan formasi satu banding satu (1:1) yaitu satu bagian untuk perempuan dan satu bagian untuk laki-laki.
Menurut pendapat K.H. R. Ahmad Buang Aziz dan K. Hazin Zainuddin bahwa sebelum adanya pembagian secara mufakat/musyawarah, harus dijelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam. Setelah dijelaskan tentang hukum waris Islam namun para ahli waris ingin membagikan secara hukum waris adat (secara mufakat/musyawarah), maka harta waris bisa dibagi dengan menggunakan dengan hukum waris adat.
Menurut keterangan dari K.H. Bajuri Yusuf dan Abd. Kamil menjelaskan bahwa dalam pembagian urf ini dilaksanakan sebagaimana pembagian secara musyawarah/kesepakatan. Jadi, tanpa harus menjelaskan terlebih dahulu tentang hukum waris Islam namun langsung bermusyawarah untuk menentukan apakah akan menggunakan hukum waris Islam atau hukum waris adat. Apabila menggunakan hukum waris Islam, setelah adanya kesepakatan ahli waris harta warisannya bisa dibagi dengan bagi rata.
Menurut K. Hazin Zainuddin pembagian harta waris dengan bagi rata merupakan kerelaan pihak laki-laki kepada perempuan. Jadi, bagi rata merupakan sedekah atau pemberian pihak laki-laki kepada perempuan yang seharusnya perempuan hanya mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.
Dalam Hal ini Korelasi Hukum Waris Adat Bawean dengan Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tercantum dalam Pasal 183 tentang mufakat/perdamaian, adanya kesamaan cara pembagiannya antara Hukum waris Adat bawean dan Hukum waris dalam Kompilasi Hukum Islam ketika terjadi mufakat/perdamaian, maka ahli waris bisa membagi rata 1:1 antara laki-laki dan perempuan dengan menjelaskan bagiannya masing-masing ahli waris. hal ini sejalan dengan Pendapat Munawir syadzali yang menyatakan bahwa Munawir Sjadali menfokuskan perhatiannya kepada konsep "egalitarianisme" sebagai konsep yang rasional dalam kehidupan sosial dengaan ditandainya bagian porsi 1:1 antara laki-laki dan wanita.
pengaruh Adat law atau hukum adat atas konstitusi dan undang-undang di Indonesia, kita dapat mengkaji mengenai sejarah hukum dan pengaruh hukum adat terlebih dahulu. Hukum menurut imanuel kant dalam gagasannya adalah sebuah nilai dasar sebua tatanan moral.  Terlepas atas sebuah nilai moral hukum kemudian menjadi sebuah tatanan yang lebih kompleks mengatur bukan lagi sekelompok masyarakat kecil namun berkembang menjadi scoop yang lebih besar yaitu negara. Dalam negara hukum merupakan sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaain kekuasaan dan kelembagaan. Rangkaian kekuasaan dan kelambagaan ada dalam sebuah negara dimana hukum merupakan bagian dari sebuah konstitusi negara dan alat perlindungan hak asasi manusia.
Hukum merupakan refleksi dari kebudayaan sebagian suku bangsa. Indonesia sebagai negara pluralis yang memiliki berbagai suku, serta adat istiadat yang berbeda pada masing-masing daerah meyakini betul bahwa hukum adat memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem hukun di Indonesia. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan sisem hukum Indonesia adalam campuran dimana didalamnya hukum adat juga memiliki pengaruh. Hukum Adat adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat yang ditaati oleh anggotanya dan kebiasan itu mempunyai sanksi bila ia tidak diikuti. Bidang Hukum Adat ini meliputi hukum keluarga yaitu warisan, perkawinan, pengangkatan anak, hukum atas tanah dan hukum yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan.
Bahwa, untuk Korelasi Hukum Waris Adat Bawean terhadap Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam memang terdapat korelasi dalam hal kesamaan. Untuk masalah pengaruhnya Hukum Adat Bawean terhadap Hukum dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana Pasal 183 tentang perdamaian, penulis secara pribadi pernah mewawancarai seorang tokoh Bawean yang bernama K.H. Zakariyah, beliau menyatakan bahwa pernah menjadi salah satu yang diundang dalam Pembahasan Kompilasi Hukum Islam. dimungkinkan adanya pengaruh adat Bawean didalam Hukum Waris sebagaimana terdapat dalam Pasal 183 tentang perdamaian tersebut.



KESIMPULAN
Bahwa, atas dasar uraian yang telah penulis bahas dalam permbahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Hukum Waris Adat Bawean dengan Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat kesamaan dalam hal terjadinya Mufakat/perdamaian. Di dalam Hukum Adat Bawean Ketika terjadi kesepakatan/mufakat maaka pembagian waris bisa dibagi rata dengan menjelaskan bagian masing-masing terlebih dahulu. Begitu pula sebagaimana hukum Waris yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 183 dijelaskan bahwa Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”. Melalui jalur perdamaian, dapat dapat disepakati oleh para ahli waris pembagian yang menyimpang dari ketentuan pasal 176 yaitu pembagian waris 2:1. Dalam hal korelasi tentang pengaruh adat Bawean terhadap Hukum nasional yaitu Hukum Waris dalam Pasal 183 Kompilasi Hukum Islam, salah satu Tokoh Bawean yaitu K.H. Zakariyah menjelaskan bahwa beliau termasuk salah satu tokoh Bawean yang ikut dalam Pembahasan Kompilasi Hukum Islam, Sehingga dimungkinkan adanya pengaruh Hukum Adat Bawean terhadap Hukum Waris Pasal 183 tentang mufakat untuk berdamai, sehingga pembagian waris dibagi rata 1:1 dengan terlebih dahulu menjelaskan bagian masing-masing ahli waris.












DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan, (Penyunting), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.68.
Hadikusuma,  Hilman, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994
Id.wikipedia.org/wiki/hukum
Koesoe, Prof. Dr. Mohammad,, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum.
Nainggolan, Torop Eriyanto Sabar, Kedudukan Anak Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pontianak Kota di Kota Pontianak, Tesis: Undip Semarang, 2005.
Roqif, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Pt Raja Grafindo Persada, 1998.
Sudiyat, Imam, Hukum Adat sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2011.
Vredenbergt, Jacob, Islam dan Bawean. Penerjemah A.B. Lapian, Jakarta: INIS, 1990.


Wawancara
Wawancara pribadi dengan K.H. Bajuri Yusuf, Bawean.
Wawancara pribadi dengan K.H.Zakariyah, Bawean,.
Wawancara pribadi dengan K.H. R. Ahmad Buang Aziz.
Wawancara pribadi dengan Hazin Zainuddin.
Wawancara pribadi dengan Abd. Kamil.

Comments

Popular posts from this blog

PENGERTIAN PERBANDINGAN HUKUM DAN KLASIFIKASI PERBANDINGAN HUKUM

dasar pemikiran tasawuf K.H. Ahmad Siddiq

AYAT DAN TAFSIR AHKAM TENTANG NUSYUZ