FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG BERISTRI LEBIH DARI EMPAT DALAM WAKTU BERSAMAAN
Bahwa, pada tanggal 19 April 2013mengeluarkan fatwa MUI yang berkaitan dengan beristru lebih dari empat dalam kurun waktu yang bersamaan, yang inti fatwanya adalah:
Beristri lebih dari empat wanita pada waktu yang bersamaan hukumnya haram.
Jika pernikahan dengan istri pertama hingga keempat dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya, maka ia sah sebagai istri dan memiliki akibat hukum pernikahan. Sedang wanita yang kelima dan seterusnya, meski secara faktual sudah digauli, statusnya bukan menjadi istri yang sah.
Wanita yang kelima dan seterusnya wajib dipisahkan karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah.
Seorang muslim yang telah melakukan pernikahan sebagaimana nomor (1) harus melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Berkomitmen untuk melakukan taubat yang sungguh-sungguh dengan jalan; (i) membaca istighfar (ii) menyesali perbuatan yang telah dilakukan; (iii) meninggalkan perbuatan haram tersebut; (iv) komitmen untuk tidak mengulangi lagi.
Melepaskan wanita yang selama ini berkedudukan sebagai istri kelima dan seterusnya.
Memberikan biaya terhadap wanita-wanita yang telah digauli beserta anak-anaknya yang lahir akibat pembuahannya, sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Jika terjadi pernikahan sebagaimana angka (1), dan yang bersangkutan tidak mau menempuh langkah sebagaimana nomor (4), maka pemerintah harus mengambil langkah-langkah sesuai kewenangannya untuk melepaskan wanita yang tidak sah sebagai istrinya melalui peradilan agama (tafriq al-qadhi).
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA
bahwa, pada tanggal 28 Juli 2005 MUI mengeluarkan fatwa tentang Kewarisan beda agama yang inti isinya adalah sebagai berikut:
Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non muslim);
Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah
ANALISA PERBANDINGAN FATWA MUI (Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 Tentang Kewarisan Beda Agama Dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Beristri Lebih Dari Empat Dalam Waktu Bersamaan
Untuk melihat tingkat keabsahan fatwa-fatwa MUI dari segi syar’I, maka diperlukan pengamatan ushul al-fiqh, terhadap proses perumusan fatwa itu. Maka dari itu maka penulis mencoba membandingkan dengan kedua fatwa diatas berdasarkan metode penetapan fatwa tersebut.
Dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti ihtisan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para Imam Madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil-dalil yang diperrgunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketika menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung pada kedua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.
bahwa terdapat kesamaan antara fatwa tentang Kewarisan beda agama dengan fatwa beristri lebih dari empat dalam jangka waktu yang bersamaan yaitu dalam konsideran (mengingat) merujuk pada Al-Qur’an dan hadist.
Bahwa sumber hukum dalam Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah Kewarisan beda agama didasarkan pada Firman Allah Surat An-Nisa’ Ayat 11 dan Surat An-Nisa’ ayat 141 yaitu:
(((((((((( (((( (((( ((((((((((((( ( ((((((((( (((((( ((((( ((((((((((((( ( ((((( (((( (((((((( (((((( (((((((((((( (((((((( ((((((( ((( (((((( ( ((((( ((((((( ((((((((( ((((((( (((((((((( ( (((((((((((( ((((((( ((((((( (((((((((( ((((((((( ((((( (((((( ((( ((((( ((((( (((((( ( ((((( (((( ((((( ((((( (((((( (((((((((((( ((((((((( ((((((((( ((((((((( ( ((((( ((((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((((((( ( (((( (((((( (((((((( (((((( (((((( (((( (((((( ( ((((((((((((( (((((((((((((((( (( ((((((((( (((((((( (((((((( (((((( ((((((( ( ((((((((( ((((( (((( ( (((( (((( ((((( (((((((( (((((((( ((((
Artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa’ ayat 11).
(….( ((((( (((((((( (((( (((((((((((((( ((((( ((((((((((((((( ((((((( (((((
Artinya: ………… Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nisa ayat 141)
Bahwa. Selain mendasarkan pada Al-Qur’an juga pada hadist Rasulullah Saw, yaitu :
ﻻ ﻴﺮﺙ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﻭﻻ ﺍﻠﮑﺎﻔﺮ ﺍﻠﻤﺴﻠﻡ (ﻤﺗﻔﻕ ﻋﻠﻴﻪ)
Artinya : “Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Serta hadist yang menjadi dasar fatwa tersebut adalah:
و عن أسامة بن زيد رضي الله عليه وسلم قال "لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم" (متفق عليه)
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda: “Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak (boleh) mewarisi orang muslim” (HR. Muttafaq alaih).
Bahwa, dasar rujukan Al-Quran dan hadist yang berkaitan dengan beristri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan yaitu Surat An-Nisa Ayat 3 dan Surat At-tahrim ayat 8 dan Surat An-Nisa ayat17, sebagai berikut:
(((((( (((((((( (((( ((((((((((( ((( ((((((((((((( (((((((((((( ((( ((((( ((((( ((((( (((((((((((( (((((((( ((((((((( ((((((((( ( (((((( (((((((( (((( ((((((((((( ((((((((((( (((( ((( (((((((( ((((((((((((( ( ((((((( (((((((( (((( (((((((((( (((
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. Al-Nisa[4]:3)
((((((((((( ((((((((( (((((((((( ((((((((( ((((( (((( (((((((( (((((((( (((((( (((((((( ((( ((((((((( ((((((( (((((((((((((( (((((((((((((( ((((((( ((((((( ((( ((((((((( ((((((((((( (((((( (( ((((((( (((( ((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((((((( ( ((((((((( (((((((( (((((( ((((((((((( ((((((((((((((((( (((((((((( (((((((( (((((((( ((((( (((((((( (((((((((( (((((( ( (((((( (((((( ((((( (((((( ((((((( (((
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, (QS. Al-Tahrim[66]:8)
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Nisa[4]:17)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
“Dari Qais ibn al-Harits RA ia berkata: Saya masuk Islam, sedang saya telah memiliki istri delapan. Lantas saya menghadap Nabi Muhammad SAW (menanyakan ihwal masalah ini) dan beliau bersabda: “Pilih dari mereka empat” (HR. Abu Dawud)
“Dari Salim dari ayahnya RA bahwa Ghailan ibn Salamah al-Tsaqafi masuk Islam, dan ia telah memiliki sepuluh istri, lantas Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tahan empat dan pisahkan sisanya” (HR. Abu Dawud)
Namun, dalam konsideran terdapat satu konsideran (mengingat) yang terdapat dalam fatwa yaitu rujukan ijma’ dan juga kaidah ushuliyyah yang digunakan. Bahwa dalam fatwa Nomor . 17 tahun 2013 tentang beristri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan terdapat sumber rujukan dalam konsideran yaitu ijma’ dan kaidah ushuliyyah, namun dalam Fatwa 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang kewarisan beda agama tidak terdapat rujukan dalam konsideran yang merujuk selain bersumber pada al-Quran dan hadis.
Bahwa, dasar Ijma dan kaidah ushuliyyah pada fatwa beristri lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan adalah sebagai berikut:
Ijma’ Ulama mengenai keharaman mengumpulkan lebih dari empat wanita dalam satu ikatan perkwaninan dalam waktu bersamaan.
Qaidah ushuliyyah :
“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menyebabkan rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”
DAFTAR PUSTAKA
Mudzhar, Mohammad Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.
Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press,1998.
Comments